Minggu, 24 April 2011

PEREKONOMIAN INDONESIA

Sistem ekonomi yang dianut oleh setiap bangsa berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan falsafah dan ideologi dari masing-masing negara. Seperti halnya Indonesia, sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia akan berbeda dengan sistem ekonomi yang dianut oleh Amerika Serikat ataupun negara-negara lainnya. Pada awalnya Indonesia menganut sistem ekonomi liberal, di mana seluruh kegiatan ekonomi diserahkan kepada masyarakat. Akan tetapi karena ada pengaruh komunisme yang disebarkan oleh Partai Komunis Indonesia, maka sistem ekonomi di Indonesia berubah dari sistem ekonomi liberal menjadi sistem ekonomi sosialis.

Pada masa Orde Baru, sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia diubah kembali menjadi sistem demokrasi ekonomi. Sistem ini bertahan hingga masa Reformasi. Setelah masa Reformasi, pemerintah melaksanakan sistem ekonomi yang berlandaskan ekonomi kerakyatan. Sistem inilah yang masih berlaku di Indonesia.

A. Sistem Ekonomi Indonesia

Sistem ekonomi yang dianut oleh setiap bangsa berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan falsafah dan ideologi dari masing-masing negara. Seperti halnya Indonesia, sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia akan berbeda dengan sistem ekonomi yang dianut oleh Amerika Serikat ataupun negara-negara lainnya. Pada awalnya Indonesia menganut sistem ekonomi liberal, di mana seluruh kegiatan ekonomi diserahkan kepada masyarakat. Akan tetapi karena ada pengaruh komunisme yang disebarkan oleh Partai Komunis Indonesia, maka sistem ekonomi di Indonesia berubah dari sistem ekonomi liberal menjadi sistem ekonomi sosialis.

Pada masa Orde Baru, sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia diubah kembali menjadi sistem demokrasi ekonomi. Sistem ini bertahan hingga masa Reformasi. Setelah masa Reformasi, pemerintah melaksanakan sistem ekonomi yang berlandaskan ekonomi kerakyatan. Sistem inilah yang masih berlaku di Indonesia. Berikut ini bentuk sistem ekonomi di Indonesia dari masa Orde Baru hingga sekarang.

1. Sistem Ekonomi Demokrasi

Indonesia mempunyai landasan idiil yaitu Pancasila dan landasan konstitusional yaitu UUD 1945. Oleh karena itu, segala bentuk kegiatan
masyarakat dan negara harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sistem perekonomian yang ada di Indonesia juga harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sistem perekonomian nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi dan dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi. Sistem perekonomian Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 disebut sistem ekonomi demokrasi. Dengan demikian sistem ekonomi demokrasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem perekonomian nasional yang merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan dari, oleh, dan untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah.

Pada sistem demokrasi ekonomi, pemerintah dan seluruh rakyat baik golongan ekonomi lemah maupun pengusaha aktif dalam usaha mencapai kemakmuran bangsa. Selain itu, negara berperan dalam merencanakan, membimbing, dan mengarahkan kegiatan perekonomian. Dengan demikian terdapat kerja sama dan saling membantu antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

a. Ciri-Ciri Positif Sistem Ekonomi Demokrasi
Berikut ini ciri-ciri dari sistem ekonomi demokrasi.
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
4) Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan untuk permufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, serta pengawasan terhadap kebijakan ada pada lembaga-lembaga perwakilan rakyat pula.
5) Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
6) Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
7) Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
8). Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

b . Ciri-Ciri Negatif Sistem Ekonomi Demokrasi
Selain memiliki ciri-ciri positif, sistem ekonomi demokrasi juga mempunyai hal-hal yang harus dihindarkan.
1) Sistem free fight liberalism, yaitu sistem persaingan bebas yang saling menghancurkan dan dapat menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain sehingga dapat menimbulkan kelemahan struktural ekonomi nasional.
2) Sistem etatisme, di mana negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara.
3) Persaingan tidak sehat dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

2. Sistem Ekonomi Kerakyatan

Sistem ekonomi kerakyatan berlaku di Indonesia sejak terjadinya Reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Pemerintah bertekad melaksanakan sistem ekonomi kerakyatan dengan mengeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan. Pada sistem ekonomi kerakyatan, masyarakat memegang aktif dalam kegiatan ekonomi, sedangkan pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha. Sistem ekonomi kerakyatan mempunyai ciri-ciri berikut ini.
a. Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
b. Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
c. Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
d. Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
e. Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.

B. Pelaku Utama dalam Sistem Perekonomian Indonesia

Sistem ekonomi kerakyatan sendi utamanya adalah UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (1) adalah koperasi, dan bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (2) dan (3) adalah perusahaan negara. Adapun dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan seorang”. Hal itu berarti perusahaan swasta juga mempunyai andil di dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian terdapat tiga pelaku utama yang menjadi kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, yaitu perusahaan negara (pemerintah), perusahaan swasta, dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut akan menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebuah sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelakunya dapat saling bekerja sama dengan baik pula dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian sikap saling mendukung di antara pelaku ekonomi sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan.

Sumber : http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Pelaku-Pelaku_Ekonomi_Dalam_Sistem_Perekonomian_Indonesia_8.2_%28BAB_15%29

BEBERAPA CATATAN TENTANG ASPEK SOSIAL-POLITIK DAN BUDAYA KESWADAYAAN

  1. Keswadayaan adalah istilah yang terdapat misalnya dalam nama Yayasan Bina Swadaya (selanjutnya disingkat Bina Swadaya atau YBS), yang sudah muncul sejak tahun 1967-an. Kalau kita memeriksa Visi, Misi dan tujuan Yayasan ini, terlihatlah bahwa istilah Keswadayaan (yang menandai suatu keadaan), digunakan dalam menunjukkan suatu proses, yaitu memberdayakan, dan sinonim dengan istilah Kemandirian.
  2. Selanjutnya, kita lihat bahwa fokus Keswadayaan adalah kepada kegiatan ekonomi, khususnya ekonomi rakyat, seperti tercantum dalam Visi YBS (Profil Yayasan Bina Swadaya, 2001: 4): “Menjadi lembaga yang unggul dalam memberdayakan ekonomi rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia dengan semangat kepedulian, kebersamaan, dan kemandirian”. Sebenarnya juga tidak semata-mata terfokus kepada kegiatan ekonomi, seperti terpapar dalam Tujuan: “Meningkatnya kemandirian masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah, yang didasarkan atas prinsip keterbukaan, kesetiakawanan, dan keadilan sosial sebagai bagian dari penghargaan terhadap harkat dan martabatnya”.
  3. Bertolak dari uraian diatas ini, kita dapat menyimpulkan bahwa keswadayaan bertalian dengan proses menjadikan berdaya, “berdiri atas kaki sendiri”, “self-supporting” atau “self-reliant”, dalam segala aspek kehidupan - ekonomi, sosial, budaya, politik – yang mencakup individu maupun kelompok, dan diperluas kepada masyarakat dan negara. Melanjutkan dari titik tolak ini, kita dapat memperluas lagi istilah ini untuk mencakup konsep independen atau independensi. Biasanya konsep ini mempunyai arti bebas dari intervensi, terutama dari unsur pemerintah dan unsur elit politik, khususnya partai politik.
  4. Dengan mencakup konsep independen, maka keswadayaan merupakan konsep sosial-politik, yang dengan sendirinya mengandung makna kekuasaan atau hubungan kekuasaan. Dalam pembahasan disini saya akan fokus pada tingkat mikro, dengan menyoroti keswadayaan yang berkembang dan terwujud pada individu dan/atau kelompok, seperti kelompok/organisasi akar rumput (community-based organizations atau CBO), Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM, serta kelompok/organisasi yang sekarang lebih dimasukkan dalam kategori “civil society organizations” atau CSO. Kemudian pada tingkat makro dengan melihat kepada lingkungan pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan “elit” politik (tingkat yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan) yang kondusif bagi terbentuknya keswadayaan tersebut. Yang dimaksud disini adalah tingkat yang biasanya disebut “enabling environment”.
  1. Selanjutnya, saya akan fokus kepada dua aspek dari berbagai aspek itu, yaitu sosial-politik dan budaya, karena biasanya kedua aspek ini kurang diperhatikan, sedangkan para ekonom pun (artinya development economists) mengakui betapa pentingnya pengetahuan tentang pranata (institutions) dan kebudayaan suatu masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Seperti dinyatakan oleh seorang ekonom Jepang, Yoshihara Kunio, dalam salah satu buku terbarunya, Asia Per Capita. Why National Income Differ in East Asia (UOP, 2001), yang dikutip dalam Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-ilmu Sosial (Yogyakarta, 2002: 58): “An economy is strongly influenced by what a country has inherited from the past. Among the historical heritages emphasized here are the institutions and culture”.
  1. Dasar filsafat konsep keswadayaan adalah ungkapan-ungkapan yang sudah umum diketahui, seperti: “ Untuk membantu seseorang/sekelompok agar maju, janganlah beri ikan, tapi berilah kail”. “Lebih baik menjadi ‘bos’ kecil, daripada pegawai/kuli (dengan gaji) besar”. “Everything is in God’s hands, but God helps those, who help themselves”.
  1. Mulai dengan keswadayaan pada tingkat individu, kita melihat ada hubungan erat dengan keadaan kwalitas manusia dalam suatu masyarakat, yang biasanya diukur dengan “human development index” (HDI) atau Indeks pengembangan manusia (IPM). Indonesia termasuk negara dengan HDI rendah, yang bertalian dengan tingkat pendidikan, kesehatan fisik dan keadaan ekonomi, yang semuanya termasuk rendah. Pada hemat saya masih ada ciri-ciri lain yang menyulitkan berkembangnya masyarakat Indonesia dengan lebih cepat, dan keluar dari keterpurukan yang berkepanjangan ini. Ciri-ciri ini adalah keengganan untuk “menangguhkan kenikmatan sekarang, agar dapat keuntungan di hari kemudian”, kecenderungan memilih jalan pintas (Koentjaraningrat), mudah tergoda untuk melakukan tindakan korupsi, serakah dan ingin untung sendiri, egois, keuletan rendah, kecenderungan boros dan hidup bergaya konsumtif.
  1. Sudah umum disadari bahwa mengukur kwalitas manusia dengan indikator pendidikan formal saja, tidak memadai. Selain IQ, sudah diakui pentingnya EQ atau emotional quotient, dan bisa ditambah lagi AQ atau adversity quotient, pengukuran kemampuan menghadapi permasalahan, musibah, bencana dsb, MQ atau moral quotient, pengukuran tingkat etika, moralitas, bahkan ada yang menyebut SQ atau spiritual quotient.
  2. Ciri-ciri yang secara obyektif menghambat berkembangnya kemampuan untuk berdiri sendiri manusia Indonesia, dianggap sebagai penghambat utama munculnya kewiraswataan atau entrepreneurship di Indonesia. Muncullah penilaian seperti ditulis Yoshihara Kunio dalam buku Ersatz Capitalism.
  3. Namun, sejak tahun 80-an terbentuk berbagai kelompok yang kemudian menamakan diri dan dinamakan Lembaga Swadaya Masyarakat. Kelompok-kelompok ini mula-mula muncul dari kalangan universitas, sebagai akibat dari ditutupnya kesempatan bagi mahasiswa-siswi untuk melakukan kegiatan yang oleh rezim Soeharto pada waktu itu dianggap “merong-rong” kegiatan pembangunan dan dengan demikian menggangu pemerintah yang diinterpretasi sebagai tindakan anti-pemerintah.
  4. Seperti dapat dibaca dalam Kata Pengantar Dawam Rahardjo dalam buku M. Deden Ridwan dan Dewi Nurjulianti (peny.), 1999, Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia. Sebuah laporan dari penelitian dan seminar, bahwa walaupun peran pemerintah dalam rezim Soeharto makin kuat, namun LSM juga makin berkembang, dan terjadilah “hubungan ‘kerukunan dan ketegangan’ antara masyarakat madani dan pemerintah” (hl. xiii). Hubungan ini memburuk pada tahun 1986, ketika terjadi apa yang dinamakan “insiden Brussel”, dalam rangka pertemuan IGGI. Peristiwa ini melibatkan INGI (Inter NGO Forum for Indonesia), yang mengumumkan suatu Aide Memoire. Isinya adalah mendesak negara dan lembaga donor yang tergabung dalam IGGI agar memakai kriteria hak-hak asasi manusia dalam mempertimbangkan proyek-proyek bantuan luar negeri. Reaksi pemerintah Indonesia adalah menuduh LSM “menjelek-jelekkan bangsa di luar negeri”. Akibatnya posisi LSM terpojok dan tersisih dari arus partisipasi pembangunan. Seperti diuraikan oleh Dawam “Sejak itu LSM-LSM terkemuka seperti LBH, Lembaga Konsumen, SKEPI datau Walhi, lebih berperan sebagai oposan, sedangkan LSM yang lebih berorientasi kepada pembangunan sosial-ekonomi mengalami kesulitan dalam melaksanakan kegiatannya. Situasi tersebut berlangsung hingga mundurnya Presiden Soeharto 21 Mei 1998” (hl. xiv, xv).
  5. Sudah banyak ditulis mengenai perkembangan LSM dengan memasuki era Reformasi, hal-hal yang positif, maupun yang negatif. Saya tidak akan meneruskan dengan membahas kelompok ini , tapi memfokus kepada kelompok-kelompok yang terutama berdiri dengan mulainya era Reformasi itu. Kelompok yang dimaksud adalah Komisi-komisi Nasional (Komnas). Komnas yang paling dikenal dan pertama didirikan, pada waktu itu oleh pemerintah Soeharto tahun 1993, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas Ham. Kemudian ada Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang didirikan (Keppres No.181, Oktober 1998) atas desakan sekelompok perempuan sebagai respons terhadap peristiwa Mei 1998 yang menjadikan perempuan korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan masal. Lalu ada Komisi Ombudsman Nasional yang didirikan dengan Keppres No. 44, tahun 2000, pada tanggal 20 Maret 2000. Masih ada Komnas-komnas lainnya dibidang ekonomi dan bidang politik, khususnya bertalian dengan Pemilu, tapi saya akan membatasi pada ketiga Komnas ini yang bertalian dengan Ham dan hukum.
  6. Pada hemat saya Komnas-komnas ini termasuk apa yang dinamakan “Civil Society”. Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai padanan istilah ini dalam bahasa Indonesia, definisinya, serta kelompok/organisasi mana termasuk dalam “Civil society” ini. Lihatlah buku yang disunting Ridwan dan Dewi yang sudah disebut diatas, yang menggambarkan “Masyarakat Madani” sebagai terpisah dari pemerintah dan sektor swasta . Kemudian ada terbitan Unicef dengan penulis Richard Holloway dan Kusnanto Anggoro, October 2000, Civil Society, Citizens’ Organizations and the Transition to Democratic Governance in Indonesia. Dalam terbitan ini “Civil Society” ditempatkan dalam ruang yang mencakup “the Public Sector, the Private Sector dan The Citizen Sector”, dan diutarakan bahwa “Civil Society is a normative term describing the desired state whereby all three sectors work for the good of the citizens” (hl. 5). Jadi, dalam uraian ini “Civil Society” merupakan “das sollen” , sedangkan pada saat ini di Indonesia digambarkan bahwa ada kelompok-kelompok masayarakat yang kegiatannya menuju keadaan yang lebih terbuka dan lebih demokratis.
  7. Dalam hal ini pada hemat saya Komnas-komnas yang didirikan dengan Keputusan Presiden, dan malahan Komnas HAM merupakan bagian dari Undang-undang No. 39, tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab VII, Pasal 75-103, dapat dilihat sebagai bagian dari “Civil Society”, menurut definisi Holloway dan Anggoro (hl. 3-5). Mereka memang didirikan oleh pemerintah dan mendapat dana subsidi dari negara (lewat DPR dari APBN), namun hal ini bukan mengganggu independensinya, karena mereka bebas dalam menentukan programnya, dan mencari dana dari dalam dan luar negeri. Peran pemerintah dalam hal ini adalah sebagai kewajiban dan komitmennya untuk menegakkan HAM, menegakkan “good governance” dan mencegah pelanggarannya. Dapat ditambah disini bahwa kelompok/organisasi yang menamakan dirinya “...... Watch”, seperti Convention Watch, mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, “Corruption Watch” termasuk dalam kategori ini.
  8. Jelaslah, sejauh mana “Civil Society Organizations” yang merupakan perwujudan dari keswadayaan, kemandirian dan independensi unsur-unsur dalam masyarakat, tidak bisa lepas dari peran pemerintah dalam memberikan “ruang” dan kesediaannya untuk diuji dan dinilai sejauh mana komitmennya terhadap keterbukaan dan akontabilitas terhadap masyarakat.
  9. Pada hemat saya, dalam mengembangkan Ekonomi Rakyat, semua aspek dalam kehidupan masyarakat harus dilibatkan dan mengalami dampaknya, karena mencakup proses transformasi keseluruhan masyarakat.

PEMBANGUNAN EKONOMI SEBAGAI MASALAH KEBUDAYAAN

Tidak perlulah kiranya membentangkan, di sini secara panjang lebar betapa pentingnya pembangunan ekonomi untuk Indonesia. Harapan bangsa kita akan kehidupan yang lebih luas dan lebih baik, yang begitu kuat dorongannya di dalam revolusi kita, belum terpenuhi. Harapan itu menyertai dan merupakan akibat perubahan-perubahan sosial besar yang sedang kita alami.

Susunan masyarakat yang tertutup tidak dapat bertahan menghadapi masuknya kehidupan ekonomi moderen. Lingkungan desa tidak lagi dapat memberi jaminan hidup yang cukup dan suasana, kehidupan ini dirasakan sebagai kungkungan. Akibatnya ialah runtuhnya susunan sosial yang lama, pemboyongan ke kota-kota, keinginan para petani untuk mencoba cara-cara yang baru, atau untuk bertindak sendiri memperbaiki nasibnya antara lain dengan turut dalam gerombolan-gerombolan. Dipandang dari sudut ini, maka masalah kemerdekaan serta pembangunan negara yang merdeka, tidak lain dari pada menyusun kembali masyarakat kita atas tingkat produksi yang lebih tinggi dengan pembagian penghasilan yang lebih merata. Di dalam keadaan seperti sekarang ini susunan masyarakat serta sistem politik, negara yang akan dapat bertahan, hanyalah suatu susunan masyarakat serta sistem politik yang sanggup mengatasi masalah kemelaratan di negeri kita. Jelaslah kiranya, cara-cara kita membangun ekonomi kita akan menentukan bentuk dan sifat negara kita, dan akan menetaukan isi kemerdekaan kita.

Apabila kita meninjau kedudukan negara kita di dunia internasional, maka terlihatlah bahwa pada tingkat kehidupan ekonomi kita sekarang nasib, kita sebagai bangsa untuk sebagian besar masih ditentukan sebagai obyek oleh faktor-faktor di luar kekuasaan kita. Selama demikian halnya maka sebenarnya asas menentukan nasib sendiri itu tidak lain daripada suatu pengertian yang hampa bagi kita. Memang untuk beberapa waktu mungkin untuk memperkuat kedudukan kita dan melindungi kepentingan bangsa kita dengan berbagai tindakan politik. Akan tetapi hasil-hasilnya sangat terbatas dan sementara. Jaminan yang mulak bagi asas menentukan nasib kita sendiri terletak pada kekuatan ekonomi yang besar. Urgensi pembangunan ekonomi lebih nyata lagi jikalau kita mengingat bahwa sebagian besar negara-negara lain telah berhasil memulihkan keadaan ekonominya pada tingkat sebelum perang, malahan tingkat itu dapat dilampauinya.

Angka-angka yang dimajukan oleh Dr. Daniel Neumark dalam laporannya kepada Biro Perancang Negara beberapa bulan yang lau telah menunjukkan bahwa kita belum berhasil mencapai kembali atau melebihi penghasilan nasional sebelum perang, malahan angka-angkanya membuktikan bahwa kita tidak berhasil menahan mundurnya tingkat kehidupan, yang sudah mulai merosot sebelum perang. Perbedaan kekuatan yang diakibatkan oleh keadaan ini dart yang berbahaya itu, lebih terang lagi jikalau kita menginsyafi bahwa makin tinggi tingkat ekonomi sesuatu negara, makin besar kemampuan dan kecepatannya untuk mempertinggikannya lagi. Dengan perkataan lain, negara-nepara yang terbelakang ekonominya makin lama makin jauh perbedaan tingkat ekonominya dengan negara-negara yang sudah lebih maju dan makin sukarlah bagi negara-negara yang terbelakang ekonominya itu untuk menyamai pesatnya kenaikan tingkat ekonomi itu. Bahaya bahwa negara-negara yang terbelakang ekonominya ini makin lama makin ketinggalan dan relatif makin lemah bukan suatu bahaya yang kosong.

Maka kemerdekaan kita dan kemungkinan bagi kita untuk benar-benar menentukan nasib kita sendiri tergantung dari kesanggupan, kita untuk meluncurkan pembangunan ekonomi yang proporsi serta kecepatannya sepadan dengan urgensi serta luasnya masalah ini. Dan juga bentuk politik negara serta kemerdekaan kita akan ditentukan olehnya.

Meskipun di dalam tahun-tahun yang akhir ini kita telah mencapai sekedar kemajuan dalam lapangan pembangunan ekonomi, namun orang tidak dapat melepaskan diri dari kesan bahwa kemajuan itu tidak memegang peranan dalam alam pikiran bangsa kita. Memang harus dikatakan bahwa kemajuan itu belum mencukupi untuk memenuhi tuntutan zaman seperti digambarkan di atas tadi. Hasil-hasil pembangunan ekonomi hingga kini belum merupakan sesuatu yang dapat memupuk kepercayaan diri-sendiri kita, dan menambah kesanggupan kita untuk membangun secara bersemangat. Seolah-olah rencana-rencana pembangunan dari pemerintah tidak merupakan suatu barang yang hidup untuk masyarakat Idta sebagai kebulatan, meskipun pentingnya hal itu diterima juga oleh daerah-daerah yang bersangkutan langsung. Kesan umum ialah bahwa, pembangunan ekonomi itu tinggal sebagai rencana-rencana Pemerintah saja, di mana setiap Kementerian berusaha sendiri-sendiri dan bukannya sebagai pelaksanaan sebagian dari suatu rencana pembangunan umum yang integral. Begitu pun dengan partai-partai politik. Partai-partai politik umumnya menyokong pembangunan, ekonomi sebagai suatu semboyan umum. Akan tetapi kita melihat juga bahwa masalah pembangunan ekonomi tidak memegang peranan dalam pikiran kaum politikus partai sekarang.

Dalam menghadapi keadaan Indonesia sekarang, percaturan perang didahulukan dan pembangunan ekonomi seolah-olah dikesampingkan sebagai sesuatu yang kurang urgensinya. Maka tidak mengherankanlah bahwa juga di kalangan khalayak-ramai tidak ada bayangan yang terang tentang apa yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi, dan apa yang harus dikerjakannya sebagai sumbangan untuk pembangunan ekonomi ini. Aktivitasnya tidak kurang, di dalam lingkungannya sendiri, akan tetapi' sering keaktifan itu timbul dari kekecewaan terhadap usaha pembangunan pemerintah di daerahnya, sehingga ia merasa terpaksa mengambil inisiatif sendiri. Bagaimanapun juga, umumnya tidak ada perasaan pada khalayak-ramai bahwa ia menjadi bagian dari suatu usaha bersama yang meliputi baik pemerintah maupun dirinya sendiri untuk membangun negara kita.

Oleh sebab itu maka timbullah kesan umum bahwa pembangunan ekonomi kita ini seolah-olah setengah-setengah saja dikerjakan, seperti tak dapat berangkat dan macet. Padahal, pembangunan ekonomi itu seharusnya merupakan penjelmaan suatu pergerakan rakyat yang dibimbing secara sadar oleh Pemerintah.

Sebabnya, bermacam-macam. Ada sebab-sebab yang harus dicari di bidang politik, oleh sebab memang ada berbagai-bagai syarat politik yang harus dipenuhi dulu sebelum suatu bangsa dapat menempuh jalan ke arah pembangunan ekonominya. Menurut pandangan kami beberapa sebab yang penting, di luar lapangan politik ini, ialah kekurangan pengetahuan tentang arti pembangunan ekonomi untuk negara kita, sehingga umumnya kurang dirasakan urgensinya. Di samping itu ada juga kekurangan pengetahuan tentang apa yang dituju dengan pembangunan ekonomi ini di dalam akibat-akibatnya untuk kehidupan masing-masing orang di dalam lingkungannya sendiri. Ada juga kekuranginsafan bahwa proses pembangunan ekonomi ini ialah suatu proses yang meliputi kehidupan kita di dalam segala lapangan. Begitu pun kita belum secara sistematis menghadapi rintangan-rintangan di dalam masyarakat kita sendiri dalam menempuh jalan ke arah pembangunan ekonomi ini, yang berakar pada kebudayaan kita sendiri. Oleh sebab itu perlu kita tinjau masalah pembangunan ekonomi di dalam rangka kebulatan kehidupan bangsa kita, atau dengan kata-kata lain, dalam rangka kebudayaan kita.

Karangan ini tidak akan membicarakan faktor-faktor ekonomi khusus ataupun faktor politik yang tersangkut dalam perumusan suatu rencana pembangunan serta pelaksanaannya. Begitu pun ia tidak akan mengupas syarat-syarat politik yang harus dipenuhi sebelum kita dapat mulai melaksanakan pembangunan ekonomi. Kita juga tidak akan menyinggung perumusan suatu politik pembangunan ekonomi. Maksud karangan ini ialah mencoba meninjau sekedarnya beberapa hubungan antara usaha pembangunan ekonomi dan bermasalah kebudayaan yang mengenai, inti pribadi sesuatu bangsa dan masalah kebudayaan yang fundamental. Sebab dapatlah dikatakan bahwa pembangunan ekonomi langsung menyentuh inti pribadi sesuatu bangsa yang masyarakat dan negaranya menjadi penjelmaannya.

Bahwa pembangunan ekonomi bukanlah suatu masalah ekonomi semata-mata, sudah dapat dibayangkan apabila kita mengingat bahwa tujuan-tujuan sesuatu rencana pembangunan ekonomi, sifat-sifatnya, perbandingan antara penanaman modal untuk pembuatan barang-barang modal dengan penanaman modal pombuatan barang-barang konsumsi, ditentukan berdasarkan suatu keputusan politik. Jadi oleh suatu keputusan yang bukan bersifat ekonomis. Begitu pun keputusan mengenai cara-cara pelaksanaan pembangunan ekonomi, misalnya tentang sentralisasi atau desentralisasi, apakah rencana pembangunan ekonomi itu harus dilaksanakan dengan menggunakan aparatur negara saja atau dengan mengajak rakyat untuk turut serta secara aktif; tempat dan penghargaan yang diberikan kepada inisiatif sendiri di dalam perumusan serta pelaksanaannya, dan kebebasan pribadi di dalamnya, semuanya merupakan suatu keputusan yang sangat erat terjalin dalam maksud tujuan sesuatu masyarakat, atau, dalam perkataan lain, mengenai dasar kebudayaannya.

Pembangunan Ekonomi sebagai Perubahan Sosial

Betapa luasnya sangkut-paut satu unsur saja dalam pembangunan ekonomi dapat dilihat dari beberapa contoh.

Di dalam usaha pernbangunan ekonomi di negeri kita, pembemtukan koperasi memegang peranan yang penting. Susunan koperasi dianggap, dan memang demikian halnya, sebagai suatu susunan keaktifan ekonomi moderen, yang masih cukup dekat kepada suasana kehidupan kita yang lama, namun cukup potensinya untuk digunakan sebagai dasar pembinaan kekuatan ekonom kita. Ia juga merupakan suatu batu loncatan dan perantara, dengan susunan-susunan keaktifan ekonomi yang lebih besar.

Pendirian suatu koperasi di desa berarti bahwa kita menggunakan suatu teknik organisasi yang tertentu: ia memerlukan administrasi serta pembukuan yang moderen. ia meminta tanggung jawab finansial. Sikap orang-orang desa terhadap uang daan kredit harus berubah sebab keaktifan koperasi dan para anggotanya harus dapat diperhitungkan dengan uang. Pendirian koperasi tidak hanya merupakan perubahan dalam cara-cara orang menyusun diri dan bekerja bersama, melainkan juga berarti perubahan dalarn lembaga-lembaga sesuatu desa. Susunan administratif baik di desa maupun dalam hubungan desa itu dengan daerah di sekitarnya akan harus disesuaikan kepadanya. Timbulnya suatu koperasi di dalam desa juga merupakan timbulnya suatu pusat kekuasaan baru sebagai saingan di dalam susunan kekuasaan lama. Maka susunan politik pun berubah karenanya. Orang-orang desa, pendapat-pendapat dan adapt-adat kebiasaannya terpaksa menyesuaikan diri kepada badan-badan baru ini. Dengan adanya suatu koperasi di dalam desa akan muncul orang-orang baru dengan kejuruan dan keahlian yang istimewa, yang dahulu tidak terdapat dalam lingkungan itu. Orang-orang desa harus belajar bergaul dengar orang-orang baru ini dan memberi tempat dan penghargaan kepadanya.

Persamaan yang dangkal antara bentuk koperasi dan susunan kehidupan gotong-royong, sebenamya menambah kesukaran-kesukaran orang untuk memahami arti perubahan dalam suatu desa yang diakibatkan oleh berdirinya suatu koperasi, dan sering juga merupakan halangan utama dalam perkembangan, koperasi tadi. Kehidupan secara gotong-royong berdasar pada rasa kekeluargaan dalam suatu masyarakat tertutup, di mana kebutuhannya untuk sebagian besar dipenuhi oleh dan di dalam masyarakat itu sendiri. Koperasi memerlukan penilaian jasa-jasa orang dengan uang, sedangkan dalam kehidupan gotong-royong penghargaan itu, biasanya tidak diukur dengan mata uang. Koperasi berdasarkan atas satu keputusan yang diambil secara sadar dan suka-rela oleh orang-orang yang bersangkutan sendiri. Anggota-anggotanya bersatu untuk mencapai suatu maksud tertentu, berdasarkan pengertian yang rasional tentang hak dan kepentingan sendiri dan hak dan kepentingan bersama. la melingkupi lingkungan kehidupan terbuka yang lebih luas daripada dahulu. Pengalaman kita di lapangan koperasi telah membuktikan bahwa jikalau perbedaan antara koperasi dan kehidupan gotong-royong yang berakar pada susunan agraris-feodal, tidak disadari dengan secukupnya, maka ada bahaya bahwa bentuk koperasi yang baru menjadi tidak lain dari pada suatu wujud baru yang mengandung isi feodal yang sama seperti dulu. Tidak sedikit jumlah koperasi yang sebenarnya hanya merupakan perkumpulan unsur-unsur feodal di dalam suatu desa yang dengan cara baru ini, hanya melanjutkan kekuasaan tradisionalnya atas orang-orang kecil.

Akan tetapi, bagaimanapun juga, telah nyatalah bahwa berhasil tidaknya suatu koperasi di desa tidak hanya tergantung pada keahlian dan kecakapan para pemimpin dan anggota-anggotanya untuk menyelenggarakan koperasi itu. Keberhasilan itu tergantung pada perubahan-perubaban lainnya di lapangan sosial dan kebudayaan yang secara langsung atau tidak langsung tersangkut dalam penyelenggaraan koperasi ini.

Maka berdirinya suatu koperasi di suatu desa harus disertai oleh berbagai perubahan di lapangan lain. Malahan boleh dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya usaha koperasi untuk sebagian besar tergantung dari kesanggupan orang untuk mengadakan perubahan-perubahan lain itu. Ternyatalah bahwa koperasi itu hanya salah satu muka saja dari proses pertumbuhan dan perkembangan desa seluruhnya yang terjadi di berbagai lapangan pada waktu yang sama. Untuk mencapai hasil baik dengan koperasi ini perlu perubahan-perubahan lain itu dihadapi dan dilaksanakan sekaligus. Artinya kita berhadapan dengan masalah pendinamisan kehidupan desa seluruhnya.

Begitupun pemasukan mesin ke dalam kehidupan desa, seperti penggunaan traktor atau didirikannya usaha-usaha kerajinan, berarti penyesuaian segala aspek kehidupan dan susunan kehidupan di desa kepadanya. Dalam hal traktor misalnya, yang perlu bukan hanya bahwa orang cakap menggunakannya, melainkan bahwa orang yakin akan perlunya memeliharanya. Pengalaman kita menunjukkan bahwa justeru dalam hal itu kita masih lemah. Di samping itu, perlu untuk menyesuaikan cara-cara bekerja bersama di dalam desa mengenai penggarapan tanah dan sebagainya kepada adanya traktor-traktor tadi, agar supaya kita dapat menarik keuntangan sebesar-besamya daripadanya, dan begitu seterusnya. Traktor dan mesin oleh orang desa harus dapat dianggap dan diperlukan sebagai lanjutan tangan manusia yang dapat dikuasainya, sepenuhnya, seperti juga paculnya. Dengan demikian itu si mesin tadi bukan lagi suatu benda yang asing baginya, melainkan suatu alat yang asli, suatu penjelmaan dari kebutuhan dan kesanggupan masyarakat desa itu. Dan untuk itu kita perlu menyesuaikan diri, termasuk mentalitet kita, cara-cara hidup, dan hubungan produksi pada umumnya kepada mesin yang kita masukkan dan terima ke dalam kehidupan kita, atau dalam perkataan lain, kita harus mencernakan mesin tadi dalam tubuh, kehidupan masyarakat kita.

Hal ini juga berlaku jikalau kita meningkat pada lapangan industrialisasi umumnya. Di sini pun pemasukan mesin-mesin hanya merupakan permulaan proses perubahan sosial dan tanggapan jiwa bangsa kita. Baru sesudah kita menyesuaikan, cara-cara organisasi kerja, disiplin kerja, kecepatan hidup kita dan sebagaimana di samping kecakapan kita untuk menggunakan mesin itu, dapat kita katakan bahwa mesin itu sudah menjadi barang yang hidup dalam masyarakat kita. Malahan lebih jauh lagi, kita baru dapat dikatakan telah mencernakan mesin itu, sesudah pada kita timbul keinginan dan kesanggupan, tidak saja untuk memelihara mesin itu, melainkan juga untuk membuatnya sendiri dan untuk senantiasa menciptakan mesin-mesin yang lebih baik daripada yang sudah, yang lebih sesuai lagi dengan kebutuhan kita sendiri. Nyatalah bahwa mesin itu hanya pernyataan dan alat suatu masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuannya:. Kita tidak dapat melepaskan mesin itu serta teknologi umumnya dari nilai-nlaai sesuatu masyarakat, dari segala sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat itu. Dengan perkataan lain mesin serta teknologi merupakan penjelmaan kebudayaan suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang menciptakannya. Jadi menghadapi masalah industrialisasi di negeri kita berada juga menghadapi suatu proses perubahan sosial, suatu proses perubahan tanggapan jiwa, suatu penyesuaian kreatif dari kebudayaan kita.

Penyesuaian kreatif ini berarti bahwa kita harus mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita sendiri asas-asas otonom, yang atas kekuatan sendiri, akan memperkembangkan dinamik sosial kita sendiri, dan mampu mendorong dan menuntun kita dalam menempuh jalan modernisasi, kehidupan kita. Jikalau tidak demikian, maka segala penyesuaian kita akan bersifat pasif. Kita tidak akan dapat melampaui taraf imitasi, taraf tiruan belaka, dan kita hanya akan meningkat dari tingkat statis yang satu kepada tingkat statis yang lain, dan kita senantiasa akan terbelakang.

Oleh sebab itu, dalam menghadapi masalah industrialisasi, kita tidak dapat mengatakan bahwa kita hanya bersedia menerima mesin serta teknologi dunia moderen dengan menolak begitu saja penjelmaan-penjelmaan lain dari kebudayaannya. Eklektisisme yang murah ini, yang dianut oleh beberapa pendekar kebudayaan kita dan yang secara samar-samar juga terdapat di berbagai kalangan masyarakat kita, tidak dapat dipertahankan. Untuk menguasai mesin dan teknologi kita perlu mengertinya lebih dahulu, yaitu menyelami dan mengerti kebudayaan dan jiwa yang menciptakannya. Usaha untuk menyelami kebudayaan Barat, yang menjadi induk dunia moderen ini, agaknya akan dapat membantu kita dalam mencari asas-asas dinamik otonom pada kita sendiri, yang kita maksudkan di atas ini.

Akan tetapi sebelum kita meningkat pada soal ini, agaknya ada baiknya kita menyimpang sebentar dan menghadapi suatu soal lain dahulu. Kita telah melihat bahwa proses industrialisasi dan pembangunan ekonomi umumnya ialah suatu proses perubahan sosial dan suatu proses perubahan tanggapan jiwa. Akan tetapi, orang dapat bertanya, apakah perubahan mentalitas itu bukannya akibat dari pemasukan mesin dan teknologi dalam kehidupan kita? Bukankah kebudayaan itu merupakan bangunan atas dari susunan hubungan produksi di dalam suatu masyarakat? Memang sejarah jalannya revolusi industri di Eropa Barat membuktikan bahwa pada umumnya hal itu demikianlah adanya. Akan tetapi jikalau suatu negara hendak mengubah susunan hubungan produksinya dan mempertinggi tingkat produksinya dalam waktu singkat dan menurut rencana tertentu, dengan sedapat-dapatnya mengurangi kesengsaraan yang diderita oleh rakyat Eropa Barat sewaktu revolusi industrinya itu, maka ia terpaksa turut memperhitungkan dan menggunakan secara sadar faktor-faktor kebudayaan tadi.

Demikianlah Uni Soviet, pada suatu ketika merasa perlu untuk mengabdikan kehidupan kebudayaan Rusia kepada keperluan industrialisasinya. Dan untuk keperluan itu ia telah mengendalikan dan mengatur penciptaan di segala lapangan. Faham Realisme Sosialis adalah akibat dari politik ini. Begitupun di Indonesia mentalitas kita akan berubah dengan adanya industrialisasi serta segala akibat sosialnya. Sebenarnya mentalitas kita sudah berubah dan akan terus-menerus berubah dengan berlangsungnya keruntuhan susunan masyarakat kita yang lama. Akan tetapi terang jugalah, bahwa apabila kita hendak mengejar waktu, mengingat urgensi pembangunan ekonomi ini untuk keselamatan kemerdekaan kita, kita akan harus mengerahkan secara sadar faktor-faktor kebudayaan untuk memudahkan dan mempercepat proses perubahan itu. Lepas dari itu ada juga suatu hal lain. Perubahan mentalitas akan terjadi sesudah proses industrialisasi dimulai. Dimulai oleh Pemerintah. Artinya perubahan mentalitas harus dimulai di kalangan pemerintah dan pemimpin masyarakat kita, sebelum kita dapat mulai dengan pembangunan ekonomi. Dan ternyata di situlah letaknya kesukaran kita, sebab tekad dan hasrat pembangunan kurang dirasakan. Dan akibatnya ialah, lambatnya usaha pembangunan ekonomi. Dan kita akan melihat nanti bahwa untuk sebagian hal itu disebabkan oleh rintangan-rintangan kebudayaan yang berpengaruh di lapisan masyarakat itu. Akibatnya ialah bahwa perubahan mentalitas yang bergandengan dengan runtuhnya susunan sosial yang lama dan keinginan rakyat banyak untuk mencoba cara-cara baru, tidak dapat ditampung dengan secukupnya.

Jelaslah, betapa pentingnya peranan faktor-faktor kebudayaan, sehingga tidak usah disangsikan lagi.

Mari kita kembali pada pokok pembicaraan kita. Kita telah melihat bahwa jikalau kita menghadapi kekuatan industrial dunia moderen, kita pada hakekatnya menghadapi kebudayaannya. Dan bahwa, apabila kita hendak mencari dan memperkembangkan asas-asas dinamik yang otonom pada kita sendiri, ada baiknya jikalau kita juga menyelami intisari kebudayaan Barat yang menjadi akar dinamik Barat itu. Untuk itu, barangkali kita mendapat pegangan sedikit jikalau kita menggunakan dua pengertian sebagai penuntun yaitu sikap aktif terhadap alam, dan asas pembaharuan terus-menerus.

Di dalam susunan statis dari masyarakat agraris feodal, yang kita kenal itu, intisari asas hidup sebagian besar bangsa kita ialah penyesuaian serta persatuan dengan kodrat dan hukum-hukumnya. Manusia adalah bagian kodrat, dan kodrat itu meliputi keseluruhannya. Manusia itu menentukan tempatnya serta hubungannya dengan alam di sekitarnya dengan perantaraan bermacam-macam upacara dan pantangan. Dengan jalan ini sedapat-dapatnya ia menjamin keselamatannya. Di dalam suatu tingkat yang lebih tinggi, kebahagiaan terbesar yang dapat dirasakannya ialah mengatasi dan membebaskan diri kungkungan pribadinya sendiri dan dengan cara demikian menikmati rasa persatuan dengan kodrat. Di dalam tanggapan jiwa yang demikian sungguh segala pemikiran untuk menguasai alam dan mengabdikannya kepada kebutuhan manusia.

Tanggapan jiwa dunia moderen berpangkal pada paham bahwa penguasaan alam oleh manusia merupakan suatu hal yang mungkin dan yang patut dikejar. Dengan tanggapan jiwa ini manusia tidak lagi merupakan suatu bagian dari alam melainkan ia mulai menyendiri daripadanya, ia mulai menyelidikinya sebagai suatu hal yang lepas dari dirinya sendiri, dan ia mulai menguasainya. Untuk dapat menguasai alam, perlu manusia mengetahui hukum-hukumnya agar ia mampu mengganakan hukum-hukum itu untuk menaklukan alam. Dan dorongan mengenal alam ini, untuk mengetahui hukum-hukum demi pengetahuan itu sendiri, tidak lain daripada tanggapan jiwa Pengetahuan. Tanggapan ilmu pengetahuan ini berikhtiar melihat mengerti alam di dalam keseluruhannya sebagai suatu kebulatan yang berangsur-angsur dapat dikenal dan dipahaminya, yang pengetahuannya dapat disusun dalam suatu teori yang logis, yang bagian-bagiannya saling berhubungan secara konqisten. Ia senantiasa berusaha membuat obyektif pendapatnya dan mengujinya kembali, untuk mencocokkannya dengan pendapat-pendapat dan hubungan-hubungan baru yang didapatnya, dan jika perlu mengubah teorinya. Maka intisari tanggapan ilmu pengetahuan ini ialah usaha pembaharuan terus-menerus. Kebenaran yang didapatnya tidak dianggap sebagai suatu kebenaran yang mudak, melainkan sebagai sesuatu yang senantiasa harus diuji kemboli, ditaklukkan dan dipahami kembali. Sebab baginya yang benar pada hari ini, besok sudah menjadi takhyul, dan yang baik sekarang besok menjadi musuh dari yang lebih baik.

Keinginan untuk mengenal dan menguasai alam, ikhtiar manusia untuk terus-menerus, mencari kebenaran sebagai sesuatu yang senantiasa harus dikejar namun tidak pemah dicapai seluruhnya, kesediaan untuk mencocokkan pandangan serta cara-cara hidupnya kepada faham ini, bersama dengan keyakinan bahwa nasib manusia di dunia ini untuk sebagian penting dapat diperbaiki oleh manusia sendiri berkat pengetahuan alam ini, kedua unsur inilah yang menjadi sumber perkembangan teknologi Barat dan sumber dinamik sosialnya yang besar itu. Kami rasa, dengan segala kekurangan dan kedangkalan yang dikandung dalam generalisasi semacam ini, kita dapat menggunakannya dalam penyelidikan kita ini.

Teranglah sekarang bahwa tidak cukup kita hanya mengoper saja alat-alat, cara-cara dan bentuk-bentuk susunan produksi dari luar. Semuanya ini akhimya harus menjadi darah-daging kita sendiri; ia harus menjadi alat-alat dan cara-cara kita memenuhi kebutuhan kita sendiri, menjadi penjelmaan kebudayaan kita sendiri. Dalam pada itu intisari persoalan yang kita hadapi ialah mencari asas-asas dinamik kita sendiri yang otonom, artinya yang dapat berkembang menurut hukum-hukum pribadi kita sendiri berkat kekuatan kita sendiri. Dinamik itu harus sedemikian kuatnya sehingga kita tidak lagi ketinggalan oleh dinamik perkembangan dunia. Dan bagaimanapun juga di samping komponen-komponen lainnya asas-asas dinamik itu akan harus meliputi juga kepercayaan bahwa manusia sanggup dan harus dapat menguassi nasibnya sendiri di dunia ini, lebih daripada semula. Lagi pula, keinginan untuk mengenal dan menguasai alam dan kesanggupan untuk menghadapi perubahan dan pembaruan terus-menerus harus hidup pula.

Dari uraian ini kelihatan betapa mendalam pembahan-perubahan yang akan harus kita alami untuk memungkinkan pembangunan ekonomi, sebab pada hakekataya kita berhadapan dengan masalah-masalah yang langsung menyentuh akar-akar kebudayaan kita.

Daya ke Arah Pembaruan dan Daya Penentang Perubahan

Bagaimanakah keadaan kita dalam menghadapi perubahan yang mendalam ini? Pada umumya dapat dikatakan bahwa dalam setiap kebudayaan terdapat suatu daya ke arah perubahan, suatu faktor yang senantiasa hendak menyesuaikan kebudayaan itu kepada masalah-masalah baru yang dihadapinya. Daya ke arah perubahan ini ialah daya ke arah pembaruan, dan ia berakar pada vitalitas kebudayaan itu. Akan tetapi sebaliknya, sudah menjadi hakekat suatu kebudayaan juga, bahwa ia hendak mempertahankan sifat dan pribadinya sendiri, dengan sedapat-dapatnya menolak hal-hal dari luar yang akan dapat mengubah sifat dan pribadinya. sendiri itu. Dan biasanya bertambah meningkat integrasi suatu kebudayaan dan suatu masyarakat, bertambah kuat pula daya penentang perubahan itu.

Maka setiap bangsa dalam sejarahnya senantiasa menghadapi bentrokan antara dua kekuatan ini. Kekuatan-kekuatan itu kedua-duanya merupakan penjelmaan dari vitalitas dan pribadi bangsa dan kebudayaan itu. Dalam menghadapi masalah pembangunan ekonomi di negeri kita, daya penentang, perubahan ini akan nyata dalam berbagai-bagai bentuk. Salah satu di antaranya ialah sikap yang banyak, terdapat di kalangan pegawai tinggi, pemimpin politik dan juga profesor-profesor kita. Sering didengar ucapan mereka ; Apakah perlu pembangunan ekonomi? Apakah bangsa kita harus menjadi seperti bangsa barat? Apakah kita harus membimbing bangsa kita ke arah suatu masyarakat yang dikuasai oleh suasana persaingan yang tak terbatas, dimana manusia menjadi serigala untuk sesama manusia, dimana individu tidak merasakan hubungan bathin dengan pekerjaan yang dijalankannya atau dengan kawan-kawan sekerjanya? Apakah semangat ini yang harus kita tanamkan ke dalam kebudayaan dan susunan masyarakat kita?

Di dalam sikap demikian sebenamya terdapat dua unsur. Pertama, ialah penolakan kapitalisme Barat. Hal itu sudah bukan permasalahan yang baru. Di Asia boleh -dikatakan penolakan semangat kapitalisme Barat itu umum sifatnya. Dan reaksi semacam ini sudah semestinya. Akan tetapi yang lebih penting di dalam rangka persoalan kita ini ialah unsur kedua, yaitu penolakan terhadap kehidupan industrial.

Penolakan kehidupan industrial dalam segala konsekuensinya ini menjadi sumber dari perlawanan atau kekurangan semangat terhadap soal pembangunan di dalam sebagian kalangan atas Indonesia. Maka perlulah kita mengupasnya secara lebih dalam. Dipandang dari suatu sudut tertentu, dapat dikatakan bahwa kebahagiaan manusia timbul dari keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhannya dan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Untuk mencapai kebahagiaan itu manusia pada satu pihak dapat berusaha sekuat tenaganya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tadi, betapapun tinggi tingkat kebutuhan-kebutuhan itu. Keseimbangan terjadi pada suatu tingkat material yang tinggi. Sebaliknya ia juga dapat mencari kebahagiaan itu dengan menurunkan kebutuhan-kebutuhannya sehingga ia tidak memerlukan ikhtiar istimewa untuk memenuhinya. Umumnya jalan yang kedua ini terdapat pada suatu tempat di mana tanggapan jiwa terhadap kehidupan manusia pada hakekatnya bersifat “Weltverneinung", yaitu bersifat menolak sepenuh-penuhnya kenikmatan lahir dari hidup di dunia ini.

Di berbagai bagian Asia dan terutama di mana kebudayaannya dipengaruhi oleh filsafat Hindu dan umumnya oleh tradisi mistisisme, sikap yang demikian ini sering kita dapati. Di bagian-bagiap ini ikhtiar manusia untuk mengurangi kebutuhan-kebutuhan lahirnya sering merupakan suatu cita-cita yang kuat. Diantara guru-guru dan pendekar-pendekar Asia, yang menganjurkan cita-cita ini harus dihitung juga seorang seperti Gandhi. Bagi Gandhi kehidupan moderen berdasarkan suatu tingkat, di mana kebutuhan-kebutuhan lahir manusia ditinggi-tinggikan sampai melampaui batas. Pada tingkat kebutuhan manusia yang terlalu tinggi ini, manusia terpaksa menjadi hamba dari mesin-mesin yang menjadi syarat mutlak baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itu. Maka pada pendapatnya sangat berbahayalah cita-cita itu bagi bangsa India dan bangsa-bangsa Asia umumnya, apabila mereka hendak menyaingi bangsa-bangsa Barat atas dasar-dasar kehidupan Barat ini dan atas dasar susunan industrial. Maka dianjurkannya agar menolak jalan ke kebahagiaan yang berbahaya ini, memperjuangkan kemerdekaan India dengan tidak mengikuti jalan industrialisasi Barat, dan kembali kepada alat-alat pemintal yang sederhana. Penolakan kehidupan industrial oleh Gandhi berdasar terutama atas, pertimbangan moral. Yang dikuatirkannya ialah kerugian jiwa yang akan diderita o1eh bangsanya sebagai akibat menerima kehidupan industrial itu. Tak perlu diterangkan bahwa pendapat yang sedemikian ini hanya dapat tumbuh di dalam isolasi Gandhi dan India dari dunia luar. Ia sukar bertahan dalam menghadapi masalah kemelaratan di India secara obyektif, begitu pula ia tidak dapat bertahan dalam menghadapi kekuatan-kekuatan yang mendesaknya dari luar. Maka tidaklah mengherankan bahwa India dalam hal pembangunan ekonomi ini tidak mengikuti jejak Gandhi, meskipun pengaruhnya masih terasa juga dalam lapangan ini. Sebaliknya, India telah mengikuti pimpinan Nehru.

Di beberapa kalangan di Indonesia pun, baik secara samar-samar, maupun dalam bentuk-bentuk yang lebih tegas, penolakan terhadap kehidupan moderen semacam ini terdapat juga. Dan agaknya inilah salah satu sebabmengapa sebagian lapisan atas kita kurang memperhatikan masalah ini sebagai suatu masalah yang tak dapat ditunda. Boleh dikatakan bahwa masalah pembangunan ini tidak memegang peranan dalam pikiran dan sepak-terjang kebanyakan partai-partai politik umumnya, kecuali sejauh suatu rencana pembangunan khusus ada singkut-paut langsung dengan kepentingan partai.

Jikalau kita menghendaki supaya usaha pembangunan ekonomi itu tidak tinggal omongan saja dan semua partai politik sebenarnya dengan bibirnya telah menyokong perlunya pembangunan ekonomi, perlulah lebih dahulu urgensi pembangunan ekonomi dirasakan, sehingga bangkitlah hasrat untuk membangun. Perlu juga orang menyadari kecepatan yang diperlukan. Hal itu berarti bahwa tidak boleh lagi ada kebimbangan moril terhadap faedah dan baiknya pembangunan ekonomi. Tidak boleh ada kesangsian lagi bahwa pembangunan ekonomi berarti menambah pada suatu waktu tingkat konsumsi, menambah kebutuhan-kebutuhan masyarakat, artinya perlunya menimbulkan keinginan di dalam masyarakat dan setiap individu untuk memiliki atau menggunakan hasil-hasil kehidupan industrial. Dalam perkataan lain, menerima konsepsi pembangunan ekonomi berarti menerima lebih dulu halalnya umat manusia dan bangsa Indonesia khususnya mengecap kenikmatan hidup di dunia ini dalam segala bentuk material dan spiritualnya dan mengejarnya sebagai salah satu dari beberapa tujuan hidup. Sikap itu berarti membuang segala ciri sikap Weltverneinung tersebut. Kita harus mengerti bahwa tanggapan jiwa ilmu kebatinan yang klasik dan etik Wedhotomo, betapapun 1uhurnya nilai-nflai yang terkandung di dalamnya, berakar pada suasana hidup agraris feodal, yaitu suasana hidup yang tidak dapat dipertahankan lagi oleh sebab dasar sosialnya sudah runtuh. Tugas bangsa Indonesia dalam taraf sejarah sekarang ini terletak di dunia fana ini dan bukannya di dalam dunia yang baka.

Rupanya belum begitu disadari bahwa apabila kita sebagai bangsa menghadapi masalah pernbangunan ekonomi, maka pada bakekatnya juga kita menghadapi masalah pandangan hidup bangsa kita. Selama hal ini belum terang di dalam pemikiran kita sendiri, segala rencana pembangunan ekonomi akan dijalankan setengah-setengah saja, oleh sebab ia selalu akan tersentuh pada "weerstanden", perlawanan yang timbul dari pandangan hidup yang lama.

Jikalau di lapisan atas masa pandangan hidup ini terutama merupakan masalah moral-falsafah, di dalam lapangan lain daya penentang perubahan itu menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit. Yaitu di lapangan penyesuaian suasana agraris ke suasana industrial atau penyesuaian si tani menjadi buruh. Masalah yang berhubungan dengan itu ialah masalah perangsang kerja.

Jikalau dilihat selayang pandang, maka surplus penduduk di desa yang sudah mulai memboyong secara besar-besaran ke kota-kota untuk melepaskan diri dari kesempitan hidup di desa itu, akan merupakan suatu pasaran buruh yang baik untuk program industrialisasi kita. Dan memang dapat dikatakann bahwa kemelaratan akan mendorong golongan ini ke lapangan industri. Akan tetapi di situ pun ada batasnya. Golongan ini ialah golongan yang biasanya tidak mempunyai suatu keahlian atau kejuruan, jadi mereka merupakan pasaran buruh hanya untuk pekerjaan di pabrik-pabrik yang tidak memerlukan kejuruan. Akan tetapi untuk pekerjaan-pekerjaan lainnya di lapangan industri, kita tetap menghadapi kesukaran.

Soalnya ialah bagaimana caranya kita dapat membawa golongan buruh ini ke taraf kejuruan? Kemungkinan-kemungkinan perkembangan industri di negeri kita, untuk sebagian besar tergantung dari jawaban kita atas soal ini. Dan jikalau kita tidak dapat mengatasi kesukaran ini, maka sangat boleh jadi kita akan kekurangan buruh yang berkejuruan di dalam suatu pasaran buruh tidak berkejuruan yang sangat luas.

Pengalaman di negara-negara lain yang juga menghadapi soal ini telah menunjukkan bahwa meskipun kemelaratan mendorong orang-orang ke lapangan industri, kemelaratan saja tidak cukup untuk memaksakan mereka menambah pengetahuan serta kejuruan yang diperlukan oleh perkembangan industrialisasi itu. Timbullah di sini soal incentives, soal perangsang yang diperlukan untuk memajukan golongan ini sehingga mereka merasa perlu menambah kejuruannya itu. Ternyatalah bahwa penambahan upah tidak senantiasa memberikan tambahan dorongan tadi. Itu memang benar di negara-negara di mana uang memang menjadi ukuran segala nilai yang berlaku di dalam masyarakatnya. Akan tetapi cukup banyak negara-negara yang ekonominya masih terbelakang, di mana nilai-nilai dalam masyarakat tidak dapat dinyatakan dalam mata uang. Banyak pertimbangan lain yang berlaku di negara dan kebudayaan itu. Ada pertimbangan prestise sosial, tanggapan jiwa terhadap kerja, terhadap arti waktu luang dan cara-cara menggunakannya serta anggapan orang banyak mengenai apa yang terpenting dalam hidupnya. Di samping itu harus diinsyafi juga bahwa jikalau dalam sesuatu masyarakat barang-barang konsumsi tidak banyak jumlah dan ragamnya, maka penambahan upah itu tidak ada artinya dalam hubungan kehidupan buruh tadi. Semua faktor-faktor ini membatasi arti uang sebagai perangsang kerja dalam lapangan buruh ini.

Ada juga rintangan-rintangan psikologis yang menghalangi pemboyongan penduduk ke lapangan industri. Meninggalkan desa biasanya menimbulkan berbagai kesulitan jiwa bagi orang-orang yang bersangkutan. Jikalau ia meninggalkan desa, ia juga meninggalkan suatu susunan nilai dan juga suatu suasana hidup yang dikenalnya dan yang dianggapnya baik dan benar : Suasana itu memberikan kepadanya kepastian jiwa, yang di dalam berbagai kebudayaan merupakan suatu tujuan hidup yang sangat ponting. Oleh sebab itu pemboyongan ke kota itu sering diangapnya sebagai suatu tindakan darurat. Sesudah ia dapat memperbaiki taraf kehidupannya, biasanya ia ingin pulang lagi ke desa. Maka di sini pun terasa kesukaran yang kita hadapi dalam usaha kita untuk mencapai perbaikan pada tingkat kejuruan kaum buruh.

Di dalam suasana desa soal kedudukan serta prestise sosial yang terkandung di dalam setiap pekerjaan itu semuanya mempunyai tempat sendiri. Susunan itu dikenal oleh tiap anggotanya dan ia dapat menempatkan dirinya di dalam susunan dan suasana itu. Agar supaya ia dapat menetap di dalam lingkungan industrial, maka sangat perlu baginya untuk mengetahui dan menerima susunan kedudukan dan prestise pekerjaan di dalam lingkungan yang baru itu. Permasalahan ini penting kita pelajari secara lebih mendalam. Kita harus mengetahui apa yang merupakan perangsang kerja yang kita perlukan dan apa yang menjadi rintangan. Unsur-unsur di dalam kebudayaan kita yang dapat menjadi perangsang harus kita pupuk dan yang dianggap sebagai rintangan harus kita singkirkan. Di samping itu masih ada soal-soal yang kita hadapi seperti perangsang-perangsang yang mempengaruhi disiplin kerja, hubungan akrab dengan pekerjaan yang dijalankan dan konsep waktu. Di samping itu bagaimana caranya kita dapat menanamkan sikap-sikap baru yang lebih sesuai dengan kehidupan industrial, dan yang perlu dicapai dalam waktu yang lebih singkat.

Sampailah kita sekarang pada pertanyaan : Berapa besarkah perubahan yang masih dapat diterima dan dicernakan oleh suatu kebudayaan. Atau di dalam hubungan pembangunan ekonomi kita, haruskah kita bersikap evolusioner atau revolusioner dalam mengejar tujuan-tujuan pembangunan ekonomi. Kita telah melihat adanya suatu keinginan untuk perubahan. Akan tetapi kita telah melihat juga bahwa jikalau perubahan-perubahan itu terlalu jauh perbedaannya dengan suasana serta adat kebiasaan yang lama, maka sikap terhadap perubahan itu ialah negatif dan menolak. Dapat dikatakan bertambah padat perpaduan suatu kebudayaan, bertambah kuat pula penolakannya terhadap perubahan yang demikian itu. Kesediaan suatu kebudayaan untuk menerima perubahan akan menjadi lebih besar jikalau perubahan itu tanpa menimbulkan kesukaran besar dapat disesuaikan di dalam susunan yang lama. Berdasarkan alasan inilah orang dapat membenarkan suatu politik berangsur-angsur, suatu politik evolusioner, dalam memasukkan unsur-unsur pembangunan ekonomi ke dalam tubuh masyarakat kita.

Akan tetapi sebaliknya timbul pertanyaan: Apakah perubahan yang kecil-kecil dan secara berangsur-angsur itu akan mencukupi untuk mengatasi kesukaran yang sekarang kita alami dalam rangka susunan masyarakat kita yang lama itu? Jikalau kita mengikuti politik evolusioner, sangat bisa jadi perubahan yang kecil itu memang dapat ditampung dan dicernakan berkat keinginan akan perubahan yang sudah ada itu. Akan tetapi, sekali keinginan itu sudah dipenuhi dan kita tidak boleh melupakan bahwa keinginan itu ialah keinginan yang besar-kecilnya ditentukan oleh keadaan di dalam lingkungan desa saja maka mungkin sekali, masyarakat desa itu akan kembali kepada konservatisme baru dan akan menolak penerusan perubahan itu yang tidak begitu lagi dirasakan pentingnya dan urgensinya. Konkritnya, andaikata di dalam suatu desa dimulai suatu kerajinan desa, maka besarlah kemungkinan bahwa kerajinan itu akan diterima dengan gembira oleh masyarakat desa itu. Akan tetapi belum pasti entah hal itu berarti bahwa mereka akan bersedia juga untuk bekerja di lapangan industri yang lebih besar, yang hubungannya dengan kehidupan di desa mungkin tidak begitu erat tetapi akan lebih penting artinya untuk mempertinggi taraf kehidupan di dalam suatu daerah yang lebih luas, daripada desa itu. Atau dengan perkataan lain, kalau toh perkembangan cottage industries tidak merupakan penyelesaian bagi masalah rekonstruksi desa dan keperluan industrial, apakah tidak lebih baik kita membuang cara evolusioner ini dan menggantikannya dengan cara-cara revolusioner, yaitu dengan terus meloncat kepada industrialisasi besaf-besaran? Orang dapat, mengatakan, meskipup penderitaan, dan kesukaran penyesuaian akan lebih besar, barangkali waktu penderitaan itu akin lebih singkat.

Syukurlah, pertanyaan ini yang dalam bentuk abstraknya ada baiknya juga kita hadapi, bagi Indonesia tidak akan dijawab pada tingkat abstraksi ini. Melihat keadaan dan kemungkinan-kemungkinan obyektif kita akan harus menempuh kedua jalan bersama-sama. Dan di samping itu, kemungkinan-kemungkinan untuk industrialisasi untuk sebagian penting akan tergantung juga dari faktor-faktor yang sementara waktu, masih di luar kekuasaan kita. Dengah mempermasalahkan pertanyaan tersebut dapat kita hindarkan perdebatan yang tak habis-habisnya antara mereka yang menganggap jalan pertama lebih unggul dan mereka yang menjagoi jalan kedua.

Kembali pada pokok persoalan kita dapatlah dikatakan bahwa setiap kebudayaan dan setiap masyarakat mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang sudah terjalin di dalam suasana kehidupannya, dan yang secara sadar atau tidak, dikejar oleh semua anggota masyarakat dan kebudayaan itu. Pembangunan ekonomi berarti bahwa tujuan-tujuan kebudayaan itu diubah dan kemudian ditentukan tujuan-tujuan yang baru. Jika hendak menjamin bahwa pembangunan ekonomi itu berhasil, maka perlu kita berusaha supaya tujuan-tujuan baru itu yang berlainan dan pada yang lama, meresap menjadi darah daging kebudayaan tadi. Dalam hal ini penyesuaian itu sebenarnya merupakan suatu reintegrasi pribadi berdasarkan perkembangannya hubungan pribadi antara si buruh atau anggota lainnya dengan tujuan-tujuan masyarakat yang baru itu.

Maka dari uraian di atas ini agaknya sudah teranglah bahwa, jikalau kita hendak melaksanakan pembangunan ekonomi dengan kecepatan yang diperlukan dan sesuai dengan proporsi masalah ini dalam segala sangkut-pautnya, tidak cukup menghadapi pembangunan ekonomi ini dari sudut ekonomi ataupun dari sudut birokratis saja. Pembangunan ekonoini harus didasarkan atas, atau lebih tegas lagi, harus merupakan penjelmaan dari suatu proses perubahan sosial dan kebudayaan yang dibimbing dengan kesadaran. Perubahan-perubahan yang dipedukan harus meliputi juga susunan serta lembaga-lembaga hukum, kebiasaan konsumsi dan juga taraf kebutuhan serta sifat-sifat kebutuhan anggota masyarakat Indonesia. Kita harus menyelami soal dorongan untuk kerja (motivation), perangsang kerja serta etika kerja. Kita harus menghadapi masalah makna hidup dan masalah penguasaan alam dan pengabdiannya kepada kebutuhan-kebutuhan manusia. Kita akan harus menentukan nilai-nilai hidup kita, beroepskeuze, sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonomi dalam taraf sejarah kita sekarang ini. Dan, kita harus menghadapi dan menyelami ilmu serta- penggunaannya untuk keselamatan umat manusia.

Maka pembangunan. ekonomi, ternyatalah mempunyai sttatu dimensi lain, di samping. pengetahuan, keahlian dan faktor-faktor, ekonomis yang khusus. Ia juga berdimensi manusia.

Usaha pembangunan ekonomi ternyata juga merupakan suatu proses yang dapat dipengaruhi, yang dapat dikuasai dan diarahkan secara sadar meskipun ia meliputi hampir segala lapangan kehidupan manusia, kita menyadari lebih dahulu segala sangkut-pautnya. Perlu kita menyelami kebudayaan kita sendiri, agar supaya kita dapat mengatasi rintangan-rintangan yang timbul dari kebudayaan kita dan yang sekarang menghalangi kemajuan kita ke arah pembangunan ekonomi. Perlu juga kita menyelaminya agar kita dapat menyadari kembali unsur-unsurnya yang dapat memberi dorongan dan perangsang bagi kita yang sudah ada dalam kebudayaan kita untuk mengejar tujuan pembangunan ekonomi ini.

Kita telah mengetahui juga, bahwa proses pembangunan ekonomi itu disertai oleh kesukaran dan penderitaan besar bagi bangsa yang sedang menempuhnya. Jikalau kita cukup, menyadari dan memperhitungkan faktor-faktor kebudayaan yang terkandung dalam dimensi manusia ini, kita akan dapat meringankan penderitaan itu dan akan dapat pula mempercepat lamanya proses pembangunan ekonomi kita, sebab kita juga telah melihat betapa pentingnya keeepatan itu untuk kedudukan kita di dunia.

Dengan kesadaran ini pula, peranan paksaan dalam pelaksanaan rencana pembangunan ekonomi akan dapat ditiadakan atau setidak-tidaknya dikurangi. Dengan jalan ini pula akan mungkin untuk menghubungkan rencana-rencana negara dengan keinginan akan perbaikan dan pembaruan di tingkat lokal. Jikalau kedua kutub ini dapat dihubungkan, maka hal ini berarti bahwa rencana pernbangunan ekonomi negara akan dapat didukung oleh dinamika sosial yang sudah ada dalam masyarakat kita dengan segala daya dan inisiatifnya, yang menjadi syarat mutlak berhasilnya usaha kita.

Berbagai Ragam Jawaban

Sebenarnya masalah yang sekarang kita badapi ini bukan soal yang baru, dan bukan kita saja yang menghadapinya. Uni Soviet telah berhasil menyusun jawabannya atas soal ini dengan memusnahkan susunan masyarakat lama dengan kekerasan dan ia telah mulai mengintegrasilkan kembali masyarakat itu dalam susunan- susunan yang baru dengan suatu campuran paksaan dan antusiasme ideologi, menurut suatu revolusi dari atas. Kemudian selama Perang Dunia II patriotisme telah turut memperkokoh susunan-susunan yang baru ini.

Jepang telah berhasil menyesuaikan dirinya kepada kehidupan moderen dan melaksanakan pernbangunan ekonominya dengan tidak mengubah hubungan-hubungan kekuasaan serta susunan kekuasaan umumnya di dalam negeri untuk mencapai transformasi ekonominya sampai ia dikalahkan pada tahun 1945. Gambaran Jepang ialah gambaran suatu negara feodal dengan alat-alat moderen. Transformasi ekonomi dijalankan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan yang terletak di dalam campuran ideology dan againa yang khas Jepang yaitu Shintoisme. Saluran-saluran kekuasaan otoriter di dalam suasana kekeluargaan digunakannya untuk membangun industri. Kekalahan Jepang dalam peperangan sekarang telah menunjukkan betapa besar pertentangan-pertentangan sosial yang terdapat dalam jawaban Jepang atas masalah pembangunan ekonominya. Pertentangan-pertentangan ini sekarang tampak. Belum jelas lagi, arah perkembangan masa depan Jepang.

Bagaimanapun juga, pengalaman Jepang penting bagi kita, sebab ia membuktikan sesuatu yang kemudian juga telah dibuktikan oleh beberapa negara yang lain, yaitu bahwa pilihan kita dan jawaban kita atas masalah pembangunan ini tidak hanya terbatas pada suatu pilihan antara jawaban komunis dan jawaban kapitalis. Perubahan-perubahan susunan sosial di Yugoslavia, sesudah negara itu melepaskan diri dari lingkungan dan dukungan kekuasaan Rusia, mendapat arti yang sangat besar dalam hubungan ini. Begitupun ragam bentuk-bentuk kooperatif (kibutzin) di Israel menunjukkan, bahwa di samping bentuk-bentuk komunis dan kapitalis masih banyak kebebasan dan daya manusia untuk menyusun jawabannya sendiri atas masalah reintegrasi suatu masyarakat baru. Di samping itu dunia sekarang sudah lebih mengetahui, bagaimana caranya manusia dapat mempertahankan kemanusiaannya dalam menghadapi mesin.

India, Tiongkok dan Birma semuanya sekarang menghadapi masalah penyesuaian kepada kehidupan moderen. Selain faktor-faktor interen, akan banyak tergantung dari ruangan dari kemungkinan yang akan diberikan kepada negara-negara ini oleh kekuasaan-kekuasaan luar, untuk mencari jawaban sendiri itu. Jalan yang ditempuh oleh ketiga negara. ini berbeda-beda. Jalan sejarah dunia akan sangat dipengaruhi oleh pertanyaan siapakah di antara kedua negara, India dan Tiongkok, akan lebih dahulu berhasil menyusun jawaban yang tetap dan tahan uji.

Pengalaman negara-negara itu dengan singkat menunjukkan bahwa memang ada kemungkinan bagi kita untuk mencari, jawaban yang sesuai dengan keadaan dan pribadi kita sendiri. Asal saja kita dapat melepaskan diri dari kungkungan dogma dan berani mempercayakan nasib kita kepada ; daya kreatif kita sendiri. Dengan demikian, soal apakah sifat dan corak kebudayaan Indonesia, yaitu kebudayaan bangsa Indonesia yang moderen tidak usah menjadi soal yang harus kita jawab lebih dahulu sebelum kita dapat memulai melakukan pembangunan ekonomi kita. Kebudayaan Indonesia akan merupakan penjelmaan jiwa bangsa Indonesia baru yang telah dibebaskan dari kungkungan kemiskinan dan yang telah menemukan dan menyadari inti pribadinya sendiri dalam kesanggupannya serta kepercayaannya kepada diri sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri. Tak usah kita sangsikan bahwa pokok sifat Indonesia dari kebudayaan kita tidak akan dapat menyatakan diri dalam jawaban Indonesia tethadap masalah pembangunan. Oleh sebab itu kita tidak perlu bersikap normatif terhadap sifat dan corak kebudayaan kita yang baru ini kita tidak perlu takut dan menolak suatu hal hanya karena ia asing bagi perasaan kita. Kebudayaan hanya mempunyai arti bagi kita jika ia dapat mempertahankan tempat kita di dunia ini, dan menjadi penjelmaan kita sendiri. Oleh sebab itu kita harus berani dalam menghadapi masalah pembangunan masyarakat baru ini, bersikap pragmatis, berani mencoba jalan-jalan baru, dan jikalau ternyata tidak sesuai atau tidak mencukupi berani pula membuangnya dan mencoba jalan-jalan lain.

Syarat mutlak dan asas penyusunannya (ordenend beginsel) ialah tekad dan hasrat pembangunan. Jikalau hasrat ini tidak ada maka segala-segalanya tidak ada artinya. Sebaliknya hasrat itu hanya bisa timbul apabila cukup terang dalam pikiran kita sendiri apa sebenarnya pembangunan ekonomi itu jikalau kita mengetahui dengan jelas apa tujuan-tujuan kita dalam usaha pembangunan ekonomi, jikalau kita dapat membayangkan sifat-sifat hari depan kita dan juga jikalau kita benar-benar yakin bahwa tujuan-tujuan pembangunan ekonomi ialah tujuan-tujuan yang halal yang patut kita kejar.

Kita telah melihat bahwa pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang dapat dikuasai dan dibimbing.

Maka timbullah pertanyaan sekarang, berapa besarkah tempat yang dapat dan harus diberikan kepada kebebasan pribadi. Apakah soal "kebebasan pribadi" ini tidak bertentangan dengan keharusan-keharusan yang merupakan ciri "planning"?

Masalah ini memang perlu ditinjau sedalam-dalamnya, akan tetapi di dalam karangan ini, cukuplah jika dikemukakanbahwa dimensi manusia, beserta segala faktor-faktor kebudayaan menjadi penting hanya kalau kebahagiaan dan kebebasan manusia dan pribadinya dianggap sebagai hal-hal yang penting dalam cara pelaksanaan usaha pembangunan ekonomi dan bukan saja sebagai tujuan terakhir. Kalau kedua hal ini hanya dianggap penting sebagai tujuan terakhir yang tidak perlu diperhatikan dan dipelihara dalam memilih cara dan jalan ke arah pembangunan, maka segala sesuatu yang dikemukakan di dalam karangan ini, tidak ada gunanya.

Alat Pelaksana

Sampailah kita sekarang pada alat-alat atau badan-badan perantara yang harus melaksanakan perubahan-perubahan yang menyertai pembangunan ekonomi ini.

Alat-alat yang harus kita gunakan untuk membimbing perubahan yang luas dan mendalam ini, ialah pengajaran dan pendidikan, partai-partai politik serta serikat-serikat buruh dan tani, alat-alat pembentuk pendapat umum dan aparat birokrasi negara.

Di dalam sekolah-sekolah rakyat sudah harus diusahakan untuk menanam dan memupuk suatu tanggapan.jiwa yang baru. Suatu tanggapan jiwa yang akan mendorong si anak itu untuk melihat lingkungannya sendiri sebagai suatu susunan yang bukan tetap dan tidak langgeng sebagai sesuatu yang dapat diatur secara lebih bermanfaat. Ia harus dibimbing sampai yakin bahwa ia dapat mengubah dan memperbaiki lingkungan hidupnya itu dengan mencapai suatu tingkat produksi yang lebih tinggi. Si murid itu harus dibiasakan menggunakan teknologi yang serba sederhana, tetapi moderen. la harus mengetahui bahwa lingkungan hidup baginya tidak terbatas pada batas-batas desanya yang dikenalnya sekarang.

Di dalam sekolah-sekolah lanjutan harus diadakan suatu usaha terarah untuk menyesuaikan beroepskeuze (pilihan bidang kerja) murid-murid tadi, sesuai dengan kepentingan negara dan pembangunan ekonomi pada taraf perkembangannya pada suatu waktu. Rasa kemerdekaan terutama terletak pada kemungkinan memilih dan apabila kemungkinan-kemungkinan untuk memilih itu diperluas, maka rasa kebebasan itu akan bertambah. Oleh sebab itu si murid harus dibebaskan dari kungkungan pikiran bahwa tujuan satu-satunya yang layak baginya ialah menuntut pendidikan tinggi, sebagai dokter atau sarjana hukum. Padanya harus ditimbulkan keinginan untuk menempuh jalan yang baru. Ia harus dapat melihat kehidupannya sebagai avontur. Perlu juga ditanamkan dasar-dasar etika kerja yang kita perlukan dan penyadaran akan hubungan antara semangat pembangunan dan semangat patriotisme yang ada padanya. Berhubung dengan itu susunan PGP harus ditinjau kembali, dan perbandingan antara gaji, masing-masing macam pekerjaan akan harus dapat ditinjau kembali dari sudut kebutuhan masyarakat pada suatu taraf tertentu. Peninjauan kembali serta penyesuaian, PGP ini akan harus dapat dilakukan setiap jangka waktu tertentu. Misalnya harus dapat ditentukan bahwa untuk jangka waktu 10 tahun, kepada tamatan sekolah teknik menengah dan kepada para pemegang buku dan akuntan diberi tunjangan yang istimewa yang jika perlu dapai melebihi gaji para academicus. Sesudah 10 tahun tunjangan istitnewa ini akan dapat ditinjau kembili dan akan dapat diberikan kepada kejuruan-kejuruan lain yang pada waktu itu relatif lebih dibutuhkan. Juga perguruan tinggi akan harus lebih disesuaikan, dengan usaha pembangunan masyarakat Indonesia. Ia harus menjadi alat dan abdinya. Perguruan Tinggi hendaknya di samping memberi pengetahuan serta keahlian dan menjalankan riset dalam hubungan itu, juga menyelidiki dan senantiasa mengawasi aspek sosial dan kultural dalam pembangunan ekonomi ini dan menyiasatkan cara-cara, yang sebaik-baiknya untuk mengatasi segala "Weeistanden" (hambatan) itu dan untuk, menahan kebiasaan-kebiasaan baru.

Artinya, di samping menanamkan pengetahuan dan keahlian di masing-masing lapangan, ia juga akan harus mendidik tenaga-tenaga yang dapat menjalankan tugas ini. Hukum adat serta etnologi hendaknya dikerahkan untuk keperluan ini juga. Dahulu kedua ilmu pengetahuan ini terutama digunakan oleh Pemerintah kolonial untuk mempertahankan stalus quo sosial. Sekarang bahan-bahan penyelidikan itu dapat digunakan untuk melancarkan dan mempercepat pembangunan dan perkembangan kita, dengan mengatasi weerstanden yang merintangi perubahan-perubahan sosial dan mengerahkan kekuatan-kekuatan di dalam susunan kebudayaan dan sosial lama yang masih dapat diguhakan dalam taraf kehidupan kita sekarang. Dengan cara-cara demikian ini, persoalan-persoalan apakah sebenarnya pengajaran maka nasional sudah dipecahkan. Dengan cara-cara ini pengajaran kita bersifat Indonesia dan nasional, bukannya karena secara negatif menolak segala sesuatu yang dirasakan asing bagi perasaan Indonesia, melainkan karena ia ditujukan kepada memenuhi kebutuhan Indonesia dewasa ini. Sekali pengajaran serta pendidikan telah disesuaikan, maka dengan sendirinya di dalam kalangan birokrasi akan timbul suatu sikap baru, yang tidak lagi memandang kedudukan sebagai pegawai negeri terutama, dari sudut prestise sosial yang menyertainya, melainkan sebagai salah satu dari berbagai-bagai alat yang ada pada masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunannya.

Adapun peranan pers serta alat-alat lain untuk mempengaruhi pendapat umum tak usah dibentangkan dengan panjang-lebar di sini. Kami rasa tidak usah disangsikan bahwa jikalau pada suatu waktu keadaan politik di Indonesia menjadi sedemikian rupa coraknya, sehingga terasa kembali arah tujuan perkembangan politik dan pembangunan kita, pers juga akan mencerminkan keadaan yang baru itu dan akan menstimulirnya. Sebab sudah ada keyakinan pada para wartawan umumnya, bahwa fungsi pers di Indonesia ini bukannya hanya memberitakan, yang telah terjadi melainkan juga mengarahkan perhatian serta kekuatan ke arah pembangunan masyarakat Indonesia.

Di dalam penyebutan alat-alat yang mempengaruhi perubahan masyarakat kita ke arah pembangunan tidak boleh kita lupakan peranan yang akan dan harus dimainkan oleh partai-partai politik dan organisasi-organisasi buruh dan tani. Pada hakekatnya di samping pengajaran dan pendidikan yang hasilnya terutama terasa di hari kemudian, partai-partai politiklah yang akan menentukan berhasil tidaknya dan pesat lambatnya perubahan-perubahan ke arah pembangunan ini. Pentingnya peranan partai-partai politik dan organisasi-orpnisasi lainnya, dalam menentukan politik pembangunan tidak perlu kita uraikan di sini. Uraian semacam itu akan melampaui batas-batas karangan ini. Akan tetapi juga di dalam aspek-aspek perubahan pembangunan yang lebih luas daripada sifat politiknya, yaitu di lapangan sosial serta kebudayaan, organisasi ini akan dapat dan harus memegang peranan yang penting ini. Partai-partai politik serta serikat buruh dan tani sendiri merupakan suatu perubahan di dalam perkembangan masyarakat kita. Ia merupakan pelopor perubahan tadi. Seperti sudah kami katakan di tempat lain, organisasi-organisasi ini merupakan salah satu dari jawaban kita yang bersifat modern atas masuknya pengaruh asing di negeri kita. Sebagai alat-alat politik moderen partai-partai politik kita masih jauh dari sempurna. Di dalam susunan kekuasaannya, di dalam ikatan-ikatan yang menggabungkan suatu partai politik dan organisasi lainnya dan juga di dalam dinamik kekuasaannya masih terdapat unsur-unsur yang biasanya tidak terdapat di dalam susunan serta dinamik politik di negara-negara yang sudah lebih lama menikmati, serta lebih lama memikul tanggungjawab kemerdekaannya. Akan tetapi bagaimanapun juga, dalam bentuknya sekarang organsasi-organisasi itu merupakan faktor yang terbesar dalam usaha reintegrasi masyarakat Indonesia. Di dalam pelaksanaan usahanya tidak boleh tidak mereka ini menjumpai bermacam-macam soal yang tidak langsung berhubungan dengan politik, akan tetapi yang tidak dapat. diabaikannya. Dan untuk sebagian besar soal-soal yang dijumpai itu menjadi bagian dari hal-hal yang digambarkan di atas ini. Dan sebenarnya arti suatu partai politik dan juga organisasi-organisasi buruh dan tani akan tergantung dari sikapnya terhadap perubahan-perubahan itu, dan terhaap masalah pembangunan ekonomi umumnya. Akan tetapi agar supaya partai-partai politik dapat memegang peranan yang diminta daripadanya, banyak hal yang harus diubah dalam. sikapnya terhadap percaturan politik umumnya. Partai-partai politik ini harus dapat menginsyafi, yang sekarang seolah-olah sudah dilupakan bahwa politik itu bukan hanya alat untuk merebut kekuasaan, melainkan. bahwa berpolitik itu terutama ialah menimbulkan, menggerakkan, mengarahkan dan membimbing kekuatan-kekuatan sosial dalam suatu masyarakat ke arah tujuan yang tertentu.

Kesimpulan

Maka kita sekarang boleh mengambil beberapa kesimpulan. Pembangunan ekonomi ialah suatu proses perubahan yang meliputi kehidupan suatu bangsa seluruhnya. Pembangunan ekohomi berarti mempercepat desintegrasi susunan magyarakat yang lama dan mempercepat juga keharusan untuk mencapai reintegrasi masyarakat itu.

Pembangunan ekonomi akan membawa kita melalui suatu taraf perkembangan yang amat sukar, oleh sebab runtuhnya kepastian-kepastian hidup yang lama dengan menghadapi keharusan untuk membentuk kepastian-kepastian serta nilai-nilai yang baru.

Meskipun demikian pembangunan ekonomi ialah suatu taraf perkembangan bangsa kita yang harus dilalui. Hak menentukan nasib kita sendiri serta pembangunan ekonomi adalah dua syarat, yang mutlak dan yang saling berhubungan.

Agar pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan dengan hasil yang baik, maka pertama-tama keharusan kita untuk menempuh jalan pembangunan ekonomi ini harus lebih dirasakan dari pada sekarang. Perlu juga kita lebih sadar sejak sekarang tentang kenyataan bahwa pembangunan ekonomi itu bukan suatu proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan yang meliputi bangsa kita di dalam kebulatannya.

Sudah barang tentu karangan ini tidak lebih dari suatu goresan pertama tentang masalah yang luas dan dalam ini. Secara selayang pandang kita baru menyingung beberapa faktor saja yang perlu diperhitungkan. Kita belum membicarakan peranan agama, baik Islam maupun Kristen, yang sedang dan akan dapat dilakukan berhubungan dengart pembangunan ekonomi kita ini baik secara positif maupun secara negatif. Unsur-unsur di dalam warisan, kebudayaan nenek-moyang kita yang perlu dihidukan kembali atau diinterpretasikan kembali masih banyak yang belum kita singgung.

Juga masalah planning dan hubungan serta perbandingannya dengan kebebasan pribadi adalah suatu masalah yang perlu kita selami dan sadari lebih dalam.

Akan tetapi bagaimanapun juga, goresan ini hanya mencoba memajukan beberapa faktor dari masalah yang penting ini, dan menempatkannya di dalam batas-batas pandangan mata kita, sebagai perangsang bagi kita bersama untuk menyelami masailah ini dalam kebulatannya, dan untuk dengan jalan bertukar pikiran mencapai suatu kristalisasi pendapat tentang niasalah ini.

Sebab kesadaran dan penjernihan pikiran adalah syarat mutlak untuk memupuk serta membimbing hasrat kita untuk membangun