Minggu, 24 April 2011

BEBERAPA CATATAN TENTANG ASPEK SOSIAL-POLITIK DAN BUDAYA KESWADAYAAN

  1. Keswadayaan adalah istilah yang terdapat misalnya dalam nama Yayasan Bina Swadaya (selanjutnya disingkat Bina Swadaya atau YBS), yang sudah muncul sejak tahun 1967-an. Kalau kita memeriksa Visi, Misi dan tujuan Yayasan ini, terlihatlah bahwa istilah Keswadayaan (yang menandai suatu keadaan), digunakan dalam menunjukkan suatu proses, yaitu memberdayakan, dan sinonim dengan istilah Kemandirian.
  2. Selanjutnya, kita lihat bahwa fokus Keswadayaan adalah kepada kegiatan ekonomi, khususnya ekonomi rakyat, seperti tercantum dalam Visi YBS (Profil Yayasan Bina Swadaya, 2001: 4): “Menjadi lembaga yang unggul dalam memberdayakan ekonomi rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia dengan semangat kepedulian, kebersamaan, dan kemandirian”. Sebenarnya juga tidak semata-mata terfokus kepada kegiatan ekonomi, seperti terpapar dalam Tujuan: “Meningkatnya kemandirian masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah, yang didasarkan atas prinsip keterbukaan, kesetiakawanan, dan keadilan sosial sebagai bagian dari penghargaan terhadap harkat dan martabatnya”.
  3. Bertolak dari uraian diatas ini, kita dapat menyimpulkan bahwa keswadayaan bertalian dengan proses menjadikan berdaya, “berdiri atas kaki sendiri”, “self-supporting” atau “self-reliant”, dalam segala aspek kehidupan - ekonomi, sosial, budaya, politik – yang mencakup individu maupun kelompok, dan diperluas kepada masyarakat dan negara. Melanjutkan dari titik tolak ini, kita dapat memperluas lagi istilah ini untuk mencakup konsep independen atau independensi. Biasanya konsep ini mempunyai arti bebas dari intervensi, terutama dari unsur pemerintah dan unsur elit politik, khususnya partai politik.
  4. Dengan mencakup konsep independen, maka keswadayaan merupakan konsep sosial-politik, yang dengan sendirinya mengandung makna kekuasaan atau hubungan kekuasaan. Dalam pembahasan disini saya akan fokus pada tingkat mikro, dengan menyoroti keswadayaan yang berkembang dan terwujud pada individu dan/atau kelompok, seperti kelompok/organisasi akar rumput (community-based organizations atau CBO), Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM, serta kelompok/organisasi yang sekarang lebih dimasukkan dalam kategori “civil society organizations” atau CSO. Kemudian pada tingkat makro dengan melihat kepada lingkungan pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan “elit” politik (tingkat yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan) yang kondusif bagi terbentuknya keswadayaan tersebut. Yang dimaksud disini adalah tingkat yang biasanya disebut “enabling environment”.
  1. Selanjutnya, saya akan fokus kepada dua aspek dari berbagai aspek itu, yaitu sosial-politik dan budaya, karena biasanya kedua aspek ini kurang diperhatikan, sedangkan para ekonom pun (artinya development economists) mengakui betapa pentingnya pengetahuan tentang pranata (institutions) dan kebudayaan suatu masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Seperti dinyatakan oleh seorang ekonom Jepang, Yoshihara Kunio, dalam salah satu buku terbarunya, Asia Per Capita. Why National Income Differ in East Asia (UOP, 2001), yang dikutip dalam Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-ilmu Sosial (Yogyakarta, 2002: 58): “An economy is strongly influenced by what a country has inherited from the past. Among the historical heritages emphasized here are the institutions and culture”.
  1. Dasar filsafat konsep keswadayaan adalah ungkapan-ungkapan yang sudah umum diketahui, seperti: “ Untuk membantu seseorang/sekelompok agar maju, janganlah beri ikan, tapi berilah kail”. “Lebih baik menjadi ‘bos’ kecil, daripada pegawai/kuli (dengan gaji) besar”. “Everything is in God’s hands, but God helps those, who help themselves”.
  1. Mulai dengan keswadayaan pada tingkat individu, kita melihat ada hubungan erat dengan keadaan kwalitas manusia dalam suatu masyarakat, yang biasanya diukur dengan “human development index” (HDI) atau Indeks pengembangan manusia (IPM). Indonesia termasuk negara dengan HDI rendah, yang bertalian dengan tingkat pendidikan, kesehatan fisik dan keadaan ekonomi, yang semuanya termasuk rendah. Pada hemat saya masih ada ciri-ciri lain yang menyulitkan berkembangnya masyarakat Indonesia dengan lebih cepat, dan keluar dari keterpurukan yang berkepanjangan ini. Ciri-ciri ini adalah keengganan untuk “menangguhkan kenikmatan sekarang, agar dapat keuntungan di hari kemudian”, kecenderungan memilih jalan pintas (Koentjaraningrat), mudah tergoda untuk melakukan tindakan korupsi, serakah dan ingin untung sendiri, egois, keuletan rendah, kecenderungan boros dan hidup bergaya konsumtif.
  1. Sudah umum disadari bahwa mengukur kwalitas manusia dengan indikator pendidikan formal saja, tidak memadai. Selain IQ, sudah diakui pentingnya EQ atau emotional quotient, dan bisa ditambah lagi AQ atau adversity quotient, pengukuran kemampuan menghadapi permasalahan, musibah, bencana dsb, MQ atau moral quotient, pengukuran tingkat etika, moralitas, bahkan ada yang menyebut SQ atau spiritual quotient.
  2. Ciri-ciri yang secara obyektif menghambat berkembangnya kemampuan untuk berdiri sendiri manusia Indonesia, dianggap sebagai penghambat utama munculnya kewiraswataan atau entrepreneurship di Indonesia. Muncullah penilaian seperti ditulis Yoshihara Kunio dalam buku Ersatz Capitalism.
  3. Namun, sejak tahun 80-an terbentuk berbagai kelompok yang kemudian menamakan diri dan dinamakan Lembaga Swadaya Masyarakat. Kelompok-kelompok ini mula-mula muncul dari kalangan universitas, sebagai akibat dari ditutupnya kesempatan bagi mahasiswa-siswi untuk melakukan kegiatan yang oleh rezim Soeharto pada waktu itu dianggap “merong-rong” kegiatan pembangunan dan dengan demikian menggangu pemerintah yang diinterpretasi sebagai tindakan anti-pemerintah.
  4. Seperti dapat dibaca dalam Kata Pengantar Dawam Rahardjo dalam buku M. Deden Ridwan dan Dewi Nurjulianti (peny.), 1999, Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia. Sebuah laporan dari penelitian dan seminar, bahwa walaupun peran pemerintah dalam rezim Soeharto makin kuat, namun LSM juga makin berkembang, dan terjadilah “hubungan ‘kerukunan dan ketegangan’ antara masyarakat madani dan pemerintah” (hl. xiii). Hubungan ini memburuk pada tahun 1986, ketika terjadi apa yang dinamakan “insiden Brussel”, dalam rangka pertemuan IGGI. Peristiwa ini melibatkan INGI (Inter NGO Forum for Indonesia), yang mengumumkan suatu Aide Memoire. Isinya adalah mendesak negara dan lembaga donor yang tergabung dalam IGGI agar memakai kriteria hak-hak asasi manusia dalam mempertimbangkan proyek-proyek bantuan luar negeri. Reaksi pemerintah Indonesia adalah menuduh LSM “menjelek-jelekkan bangsa di luar negeri”. Akibatnya posisi LSM terpojok dan tersisih dari arus partisipasi pembangunan. Seperti diuraikan oleh Dawam “Sejak itu LSM-LSM terkemuka seperti LBH, Lembaga Konsumen, SKEPI datau Walhi, lebih berperan sebagai oposan, sedangkan LSM yang lebih berorientasi kepada pembangunan sosial-ekonomi mengalami kesulitan dalam melaksanakan kegiatannya. Situasi tersebut berlangsung hingga mundurnya Presiden Soeharto 21 Mei 1998” (hl. xiv, xv).
  5. Sudah banyak ditulis mengenai perkembangan LSM dengan memasuki era Reformasi, hal-hal yang positif, maupun yang negatif. Saya tidak akan meneruskan dengan membahas kelompok ini , tapi memfokus kepada kelompok-kelompok yang terutama berdiri dengan mulainya era Reformasi itu. Kelompok yang dimaksud adalah Komisi-komisi Nasional (Komnas). Komnas yang paling dikenal dan pertama didirikan, pada waktu itu oleh pemerintah Soeharto tahun 1993, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas Ham. Kemudian ada Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang didirikan (Keppres No.181, Oktober 1998) atas desakan sekelompok perempuan sebagai respons terhadap peristiwa Mei 1998 yang menjadikan perempuan korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan masal. Lalu ada Komisi Ombudsman Nasional yang didirikan dengan Keppres No. 44, tahun 2000, pada tanggal 20 Maret 2000. Masih ada Komnas-komnas lainnya dibidang ekonomi dan bidang politik, khususnya bertalian dengan Pemilu, tapi saya akan membatasi pada ketiga Komnas ini yang bertalian dengan Ham dan hukum.
  6. Pada hemat saya Komnas-komnas ini termasuk apa yang dinamakan “Civil Society”. Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai padanan istilah ini dalam bahasa Indonesia, definisinya, serta kelompok/organisasi mana termasuk dalam “Civil society” ini. Lihatlah buku yang disunting Ridwan dan Dewi yang sudah disebut diatas, yang menggambarkan “Masyarakat Madani” sebagai terpisah dari pemerintah dan sektor swasta . Kemudian ada terbitan Unicef dengan penulis Richard Holloway dan Kusnanto Anggoro, October 2000, Civil Society, Citizens’ Organizations and the Transition to Democratic Governance in Indonesia. Dalam terbitan ini “Civil Society” ditempatkan dalam ruang yang mencakup “the Public Sector, the Private Sector dan The Citizen Sector”, dan diutarakan bahwa “Civil Society is a normative term describing the desired state whereby all three sectors work for the good of the citizens” (hl. 5). Jadi, dalam uraian ini “Civil Society” merupakan “das sollen” , sedangkan pada saat ini di Indonesia digambarkan bahwa ada kelompok-kelompok masayarakat yang kegiatannya menuju keadaan yang lebih terbuka dan lebih demokratis.
  7. Dalam hal ini pada hemat saya Komnas-komnas yang didirikan dengan Keputusan Presiden, dan malahan Komnas HAM merupakan bagian dari Undang-undang No. 39, tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab VII, Pasal 75-103, dapat dilihat sebagai bagian dari “Civil Society”, menurut definisi Holloway dan Anggoro (hl. 3-5). Mereka memang didirikan oleh pemerintah dan mendapat dana subsidi dari negara (lewat DPR dari APBN), namun hal ini bukan mengganggu independensinya, karena mereka bebas dalam menentukan programnya, dan mencari dana dari dalam dan luar negeri. Peran pemerintah dalam hal ini adalah sebagai kewajiban dan komitmennya untuk menegakkan HAM, menegakkan “good governance” dan mencegah pelanggarannya. Dapat ditambah disini bahwa kelompok/organisasi yang menamakan dirinya “...... Watch”, seperti Convention Watch, mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, “Corruption Watch” termasuk dalam kategori ini.
  8. Jelaslah, sejauh mana “Civil Society Organizations” yang merupakan perwujudan dari keswadayaan, kemandirian dan independensi unsur-unsur dalam masyarakat, tidak bisa lepas dari peran pemerintah dalam memberikan “ruang” dan kesediaannya untuk diuji dan dinilai sejauh mana komitmennya terhadap keterbukaan dan akontabilitas terhadap masyarakat.
  9. Pada hemat saya, dalam mengembangkan Ekonomi Rakyat, semua aspek dalam kehidupan masyarakat harus dilibatkan dan mengalami dampaknya, karena mencakup proses transformasi keseluruhan masyarakat.

1 komentar: