An atmosphere need to be created whereby economists are prepared to take on what is best from the social science; economics is more likely to be changed by its friends than by its critics; in business as well as in theory we prefer not the metaphor of the invisible hand but rather that of the “invisible handshake” the spirit of cooperation and competition.1)
1) Alan Lewis and Karl Erek Warneryd, Etics and Economic Affairs, Routledge, 1994, hal. 372.
PENDAHULUAN
Jika di sejumlah negara Barat yang maju perekonomiannya pakar-pakar ekonomi sudah lama mempertanyakan realisme dan relevansi ilmu ekonomi bagi pembangunan suatu masyarakat/ bangsa, di Indonesia yang baru memiliki Doktor Ekonomi pertama tahun 1943, masalah ini sangat sedikit dipersoalkan. Dosen-dosen/pengajar ilmu ekonomi di perguruan-perguruan tinggi tak banyak yang membaca buku-buku yang bersifat kritis tentang ini. Terakhir, kiranya tidak banyak ekonom arus utama yang berminat membaca buku Matinya Ilmu Ekonomi (The Death of Economics) tulisan Paul Ormerod tahun 1994, padahal penulisnya pernah datang ke Jakarta (15 Januari 1998), dan berdiskusi dengan para ekonom senior kita.
Namun jika Paul Samuelson sendiri sebagai salah seorang ”Nabi” ilmu ekonomi Neoklasik menyatakan bahwa ilmu ekonomi akan lebih besar kamungkinan diubah oleh teman-temannya daripada para pengkritiknya, kiranya pakar-pakar ekonomi Indonesia harus tidak mudah berpuas diri dengan ilmu yang digelutinya.2) Terutama para dosen perguruan tinggi ada baiknya menanyakan pada sarjana-sarjana lulusannya, sejauh mana ilmu ekonomi yang dipelajari di perguruan tinggi benar-benar ”memberi bekal” memadai untuk ”bekerja” atau membuat analisis-analisis permasalahan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1976 telah terbit buku Economics in The Future yang sangat tidak puas dengan ekonomika Neoklasik. Jan Tinberger dan Gunnar Myrdal mengusulkan ilmu ekonomi yang tidak (induktif) empirik dan kelembagaan (institusional).
2) dalam Moh. Arsyad Anwar, Pemikiran Pelaksanaan, dan Perintisan Pembangunan Ekonomi, Gramedia 1992, hal 69-86.
THE JAKARTA SCHOOL OF ECONOMICS
Prof. Sumitro Djojohadikusomo adalah ekonom Indonesia pertama bergelar Doktor (1943). Fakultas Ekonomi yang didirikan Sumitro di Jakarta (1950), sering dikenal sebagai The Jakarta School of Economics. Namun berbeda dengan kesan umum adanya ciri FE-UI ini yang kadang-kadang disebut mengajarkan falsafah ekonomi liberal, ”ciri khas” sebenarnya (kalaupun ada) adalah berbeda dari ilmu ekonomi “Neoklasik” yang diajarkan di Amerika Serikat yang makin banyak menggunakan model-model matematik. Sumitro dalam tulisan “Pendekatan Ekonomi terhadap Perspektif Sejarah memulai tulisannya dengan menunjuk pada “Methodensreit” antara Mazab Austria (Carl Menger) dan Mazab Historismus (Gustav Schmoller) tahun 1873-74 yang dianggap oleh Joseph Schumpeter sebagai ”pemborosan energi”. Dalam tulisan jelas bahwa Sumitro lebih condong dan bersimpati pada mazab historismus yang bersifat induktif-empiris meskipun pendekatan ini tidak tegas-tegas dilawankan dengan pendekatan teoritik-analitik–matematik.
Jika Sumitro lebih menekankan ciri JSE (Jakarta School of Economics) pada masalah-masalah pembangunan ekonomi jangka panjang dalam perspektif sejarah, maka Suhadi Mangkusuwondo mengembangkan argumentasi lebih lanjut menjadi masalah-masalah ”makro” perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dalam proses pembangunan ekonomi jangka panjang. 3)
3) Suhadi Mangkusuwondo, Teori dan Kebijaksanaan Ekonomi Makro: Perspektif Indonesia, dalam Hendra Esmara (Peny), Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan, Gramedia 1987.
Pada era Orde Baru ketika tokoh-tokoh teknokrat FE-UI diangkat menjadi menteri-menteri, khususnya sejak deregulasi/liberalisasi 1983-93, JSE mendapat julukan baru sebagai fakultas yang mengajarkan paham liberal. Ini dibantah Suhadi.
Tidaklah benar anggapan sementara kalangan yang menyatakan bahwa alumni FE-UI berpandangan ”liberal”, dalam arti bahwa mereka terlalu percaya pada mekanisme pasar yang bebas… Mereka pada dasarnya adalah intervensionis, tidak percaya bahwa mekanisme pasar yang bebas akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang optimal.4)
4) Suhadi Mangkusuwondo, idem h. 52-53 op.cit hal 47-65
Pada tahun 1981, ketika terjadi Polemik Ekonomi Pancasila, muncul kesan adanya kubu UI dan kubu UGM, yang pertama dianggap pro-pertumbuhan, sedangkan yang kedua pro pemerataan. Selanjutnya saat terjadi reformasi politik ekonomi tahun 1998, Warta Ekonomi (November 1998) membuat Cover Story ”Ekonomi Rakyat Menggeser Berkeley Mafia”. Adi Sasono yang ditunjuk menjadi Menkop & UKM oleh Presiden Habibie memimpin barisan “pembela ekonomi rakyat”, sedangkan sejumlah ekonom muda UI (Faisal Basri dan Chatib Basri) menganggap sepi ekonomi rakyat. Emil Salim menolak disalahkan telah memihak konglomerat. ”Dari semula prioritas kami adalah pembangunan rakyat kecil dan (karena) sebagian besar rakyat tinggal di pedesaan, maka prioritas pembangunan harus pertanian.” Menurut Emil Salim Ekonomi Indonesia memang mulai melenceng antara 1988-1993 dan sejak 1993 ekonom satu persatu mulai digusur oleh non ekonom dari pemerintahan. 5)
5) Warta Ekonomi No. 25/X/9 November 1998
Dalam semua debat para ekonom sejak 1981 sampai 1998 tersebut, yang menjadi fokus adalah strategi pembagunan ekonomi bukan teori ekonomi atau ilmu ekonomi. Kini (2001-2002) karena krisis multidimensi yang berkepanjangan mulai dipersoalkan teori ekonomi atau ilmu ekonomi yang mendasarinya.
PAUL SAMUELSON SEBAGAI “NABI” EKONOMI
Buku teks ilmu ekonomi paling laris di dunia dan yang sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa di luar bahasa Inggris adalah buku Paul Samuelson, Economics, yang kini (2001) sudah mencapai edisi ke-16. Segera setelah terbit edisi pertama tahun 1948 memang buku ini diterima baik karena padat, lengkap, mudah, dan menggunakan bahasa Inggris yang sederhana.
Samuelson mampu menjadikan ilmu ekonomi “laksana agama” baru dari kaum progresif yang “Tuhan”nya tidak lain adalah efisiensi. Apapun yang efisien adalah baik, dan yang tidak efisien buruk.
The goal of economics, in short, is progress; the means is an efficient economic system; the sinners are the special interests; the greatest danger posed for the world is cyclical instability and unemployment of resources that will lead to demagoguery, dictatorship and war.
Far at least another hundred years we must pretend to ourselves and to everyone that fair is foul and foul is fair; for foul is useful and fair is not. Avarice and usury and precaution must be our gods for a little longer still.6)
6) Robert Nelson, Economics as Religion. Pensylvania, 2001. op. cit. hal. 110,112
New “economic religions” have emerged that could provide secular religious blessings in place of the old Judeo – Christian theologies. Economists have been modern priesthood, capable of establishing the social legitimacy of market institutions defined in religious terms more acceptable to the modern age grounded in “scientific” truth.7)
7) Robert Nelson, idem hal. 270
Any old religion may do for economic purposes, as long as it is truly believed in and support the market and other economic institutions, but a religion will not be believed in unless it can successfully assert a truth claim about the world. 8)
8) Robert Nelson, idem hal. 302
Karena ternyata penerapan ajaran-ajaran ekonomi Samuelson membuahkan hasil berupa kemajuan ekonomi luar biasa bagi bangsa Amerika, maka muncul keyakinan “Tuhan berpihak pada kami”, dan pasar juga telah ”diberkahi” oleh Tuhan (God Bless The Market). Lebih-lebih setelah bangkrutnya sistem ekonomi non pasar Uni Soviet, bangsa Amerika makin yakin (sistem) pasar pasti menghasilkan efisiensi ekonomi nasional. Maka tidak mengherankan membaca judul Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 2002 Building Institutions for Markets. Artinya lembaga harus ditemukan dan dikembangkan untuk “diabdikan” pada pasar karena pasar dan efisiensi yang dihasilkannya merupakan “Tuhan” itu sendiri. Ini sejalan dengan ajaran agama-agama besar khususnya Kristen dan Islam bahwa manusia diciptakan menjadi wakil Tuhan di dunia untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah). Kepercayaan pada Tuhan ini nyata tertulis pada uang dollar Amerika Serikat “In God We Trust”, dan Dwight Eisenhower pernah sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat menyatakan :
America makes no sense without a deeply held faith – and I don’t care what it is. A religious bases of civil mindedness and social solidarity is necessary; whatever it is.9)
9) Robert Nelson, idem hal. 301
Demikian banyak pakar Ekonomi Amerika berhasil meraih Hadiah Nobel Ekonomi karena ajaran-ajarannya “terbukti”, dan bermanfaat bagi kemajuan ekonomi masyarakat Amerika yang kini ingin di”globalisasikan” supaya juga “memberi manfaat” pada bangsa-bangsa lain yang “belum beruntung”, yaitu negara-bekas jajahan yang sedang berkembang.
The most vital religion of the modern age has been economic progress … (economists) have been the modern priesthood of the religion of progress, interpreting its form, refining its messages, and assuring the faithful that progress would continue … By promoting a culture of civil commitment to the market system, economists have put the power of religion to work in fending off these newer temptations of a modern kind of “devil”.10)
10) Robert Nelson, idem hal. 329
EKONOMIKA DAN IDEOLOGI
Banyak pakar ekonomi Indonesia penganut paham arus utama Neoklasik menyatakan keberatan memasukkan ideologi Pancasila dalam asas kekeluargaan yang termuat dalam pasal 33 UUD 1945 ke dalam sistem ekonomi Indonesa. Menurut mereka ekonomika harus bersifat ilmu positif (positive science) yang membahas das sein bukan ilmu ekonomi normatif yang membahas das sollen.
Pendapat Mubyarto-Hidayat cs ini memang bertentangan dengan pendapat yang dewasa ini secara umum dianut oleh para ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Menurut pendapat umum ini tugas utama ilmu pengetahuan sosial adalah menyusun teori-teori yang bersifat nomologis; artinya mencari hukum-hukum empiris yang dapat digunakan untuk membuat ramalan-ramalan (prognosa). Hukum-hukum empiris tidak bersifat normatif, sebab hukum-hukum ini hanya menyatakan sesuatu keadaan dalam kenyataan seperti adanya. Bukan sebagai seharusnya ditinjau dari prinsip-prinsip moral dan etika.11)
11) Masuk Pangabean, Teori Ekonomi Pancasila: Nomologis atau Normatif, Sinar Harapan, 13 Agustus 1981
Kritik terakhir pada gagasan Mubyarto adalah pendekatan ilmiahnya dalam memcahkan persoalan yang dihadapinya. Seperti juga ahli-ahli ilmu sosial lain umumnya di Indonesia yang saya anggap merupakan kelemahan, pendekatannya bersifat normatif, karena itu ahistoris.12)
12) Arief Budiman, Sebuah Kritik Terhadap “Sistem Ekonomi Pancasila Mubyarto”, Kompas, 10 Juni 1981
Sekiranya terdapat ilmuwan yang ingin memasukkan motif non-ekonomis ke dalam pengkajian ilmu ekonomi, hanya disebabkan keinginan mendekatinya dari segi moral secara normatif, maka saya berkeberatan. Sebab ilmu pada dasarnya mempelajari apa adanya dan bukan apa yang seharusnya. Pendekatan seperti ini berarti, bahwa ilmu ekonomi surut lagi ke belakang, ke abad pertengahan ketika ilmu merupakan moral terapan. 13)
13) Jujun S. Suriasumantri, Tentang Ilmu Ekonomi Pancasila, Kompas, 31 Juli 1981
Dari beberapa komentar tersebut yang semuanya dimuat di surat kabar harian, bukan di majalah atau jurnal ilmiah, dapat kita simpulkan adanya dikotomi antara ilmu yang positif dan yang normatif, dan ilmu atau teori ekonomi Pancasila adalah normatif. Sebenarnya seminar ekonomi Pancasila bulan September 1981 tidak pernah sampai pada perdebatan tentang teori atau ilmu ekonomi Pancasila tetapi tentang Sistem Ekonomi atau aturan main hidup berekonomi yang didasarkan pada ideologi Pancasila. Memang jika dalam teori ekonomi Neoklasik hanya dikenal 2 sistem ekonomi (kapitalisme dan sosialisme), maka tidak ada tempat bagi sistem ekonomi lain yang tidak mengacu pada 2 sistem ekonomi tersebut. Tetapi jika Pancasla sejak Indonesia Merdeka tercantum sebagai idelogi bangsa, dan termuat jelas dalam Pembukaan UUD 1945, maka negara kebangsaan Indonesia termasuk para ilmuwannya sepatutnya mengacu pada ideologi tersebut sebagai pegangannya. Jika pemahaman yang demikian diterima tentunya sulit diterima kritik bahwa Mubyarto-Boediono telah “menuduh Arief Budiman belum paham Pancasila dengan sikap super”.14) Maruli Panggabean membabat pemikiran Mubyarto-Hidayat sebagai paham normatif, padahal teori-teori yang normatif sekali pun tidak cukup hanya dengan menyebut-nyebut Pancasila saja, tetapi harus didahului penjelasan apa fungsi ilmu pengetahuan sosial di Indonesia. Ilmu pengetahuan sosial menurut Maruli Panggabean (mengutip Max Weber) harus “bebas nilai” (value-free). 15)
14) Pikiran Pembaca, Kompas, 30 Juni 1981
15) Maruli H. Pangabean. Idem. Sinar Harapan 13 Agustus 1981
Keberatan dipakainya ideologi atau nilai-nilai dalam ilmu ekonomi sering didasarkan pada pengertian yang keliru tentang ideologi. Ideologi sebenarnya berarti ilmu tentang ide, ilmu tentang gagasan, yang tentu saja harus berperan dalam proses pengembangan setiap ilmu termasuk dan terutama menyangkut ilmu-ilmu sosial.
Value judgments refer to conscious and piecemeal objective norms or subjective (moral) predilections, for example, that to eradicate poverty there should a more political freedom enjoyed by the public. On the other hand, ideology refers to an unconscious, or “semi-conscious and total “world-view”. … Value judgment are partial manifestations of total ideological commitments.16)
16) Katouzian, Homa, Ideology and Method in Economics, Macmillan, 1980, op.cit. hal 131-136
Dari pengertian ideologi yang demikian jelas bahwa ideologi yang telah dimiliki suatu bangsa seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak saja tidak boleh tetapi bahkan harus dipakai dalam menyusun sistem ekonomi nasional. Dan untuk itu diingatkan definisi sistem ekonomi Joan Robinson (1962).
The pre-requisites for an economic system is a set of rules, an ideology to justify them, and a conscience in individual which makes them strife to carry them out? 17)
17) Robinson, Joan, Economic Philosophy, 1962
KKN DAN KAPITALISME PERKONCOAN
Dua istilah ini, KKN dan Kapitalisme Perkoncoan, sudah sering disatukan dalam KKNK (Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Kronisme), yang artinya semua praktek negatif dari (terutama) birokrat dan dunia bisnis yang karena terlalu jauh diarahkan pada pengejaran keuntungan pribadi, dengan mengorbankan kepentingan orang lain (rational-selfishness), telah menjadi penyumbang terbesar dari krisis multidimensi (terutama krisis perbankan) sejak 1997 sampai sekarang.
Kontroversi tentang perpanjangan PKPS ( Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) jelas menggambarkan posisi menteri-menteri tertentu bidang perekonomian apakah ia memihak konglomerat atau memihak ekonomi rakyat. Tentu harus dicatat bahwa “memihak” konglomerat tidak sama dengan “memusuhi” ekonomi rakyat, dan sebaliknya, meskipun akan terbukti kemudian bahwa jika PKPS lolos, perilaku konglomerat yang kebablasan di masa lalu akan terulang dan ekonomi rakyat akan lebih tergusur lagi. Dalam kaitan ini kekawatiran seorang Adam Smith dalam buku babon ilmu ekonomi Wealth of Nations (1776) ternyata tetap relevan di dunia bisnis di manapun termasuk di Indonesia sekarang.
People of the same trade freedom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices
The interest of the dealers, however, in any particular branch of trade or manufactures, is always in some respect different from and even opposite to, that of the public … To narrow the competition is always the interest of the dealers … But to narrow the competition must always be against --- (the interest of the public), and can serve only to enable the dealers, by raising their profits above what they naturally would be, to levy for their own benefit, an absurd tax upon the rest of their fellow – citizens.18)
18) Dikutip dalam E.K. Hunt, History of Economic Thougt A Critical Perspective. Wodsworth, 1979, op.cit. hal 55- 56
KKN yang kini telah menjadi semacam ”musuh” (momok) ekonomi Indonesia muncul sebagai upaya menghindari persaingan. Dengan koneksi atau menemukan konco (kroni) pejabat atau birokrat, maka bisnis dapat dijamin dan keuntungan aman atau “sudah di tangan”. Sejumlah konglomerat Indonesia jelas lahir atau menjadi sangat besar (meraksasa) karena kolusi atau koneksi antara pengusaha dan oknum-oknum pejabat pemerintah. Yang lebih hebat lagi dan terjadi dengan mudah adalah jika pengusaha adalah anak pejabat penting, karena pejabat tertentu terang-terangan tanpa melalui tender memberikan proyek atau bisnis besar kepada anaknya sendiri. Kadang-kadang anak-anak pejabat ini benar-benar terlibat langsung sebagai pengusaha. Tetapi yang lebih sering terjadi, anak-anak pejabat hanya dipinjam namanya, atau perusahaan yang didirikan memberikan saham kosong kepada anak pejabat bersangkutan, sehingga tanpa modal anak pejabat tersebut ikut menjadi pemilik sejumlah perusahaan.
Selama periode konglomerasi 1987 – 1994, bersamaan dengan proses perkembangan liberalisasi/deregulasi, pertumbuhan bank-bank swasta yang didirikan oleh pengusaha-pengusaha besar tertentu, bank-bank ini mampu menjadi besar dan pada saat bersamaan mampu membesarkan perusahaan dari para pemilik Bank, karena dana pihak ketiga lebih banyak dipinjamkan kepada perusahaan-perusahaan milik sendiri, meskipun sebenarnya ada batasnya. Pelanggaran demi pelanggaran batas pemberian pinjaman kepada perusahaan sendiri inilah yang mempercepat kebangkrutan Bank-bank swasta, yang 16 diantaranya ditutup pemerintah tanggal 1 November 1997, dan yang lebih merangsang rush pada hampir semua bank swasta lain yang sejak itu masuk rumah sakit BPPN.
Bahwa proses deregulasi/liberalisasi perbankan ini menjadi kebablasan diakui oleh Radius Prawiro dalam bukunya.
Dalam keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang berani menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar. Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal dengan demikian, menjadi yang paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di negara-negara yang paling berkembang. 19)
19) Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme dalam Aksi. Elex Media Komputindo, 1998 op.cit. hal 409
Pengakuan Radius Prawiro ini menarik bila dikaitkan dengan pendapat Suhadi Mangkusuwondo yang disebutkan diatas tentang Jakarta School of Economics yang dibantah telah mengajarkan paham ekonomi liberal. Disini terlihat bahwa pemerintah yang menurut amanat pasal 33 UUD 1945 harus “menguasai” perekonomian nasional (pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak), telah “kebobolan” melalui liberalisasi keuangan dan perbankan tahun 1983 dan kemudian 1988.
Cukup menarik bahwa pengalaman sangat pahit kebijakan liberalisasi perbankan yang berakibat krisis moneter 1997 dewasa ini tidak dianggap sebagai kekeliruan oleh sementara pakar ekonomi arus utama (Neoklasik). Yang selalu ditonjolkan justru adalah bahwa ekonomi Orde Baru (sampai 1996) harus diakui telah berhasil (sukses) memajukan ekonomi Indonesia karena kebijakan yang liberal tersebut. Maka ”pemulihan ekonomi Indonesia tidak mungkin dan tidak boleh meninggalkan kebijakan yang telah terbukti berhasil tersebut”.
Indonesia’s success in recent years is largely attributable to liberalization and its recent troubles to some extent reflect failure to carry through the principles of liberalization to certain key areas. The key to recovery and future success, therefore, is to pursue further liberalization, not to wind back that has already been achieved.20)
20) McLeod, Ross, Indoensia’s Crisis and Future Prospect, dikutip dalam Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-Ilmu Sosial, YAE, 2002. hal 78
ILMU EKONOMI DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL
Jika pendiri mazab Neoklasik Alfred Marshall hidup kembali, pasti ia sangat sedih, seperti halnya Adam Smith pendiri mazab Klasik, bahwa ajarannya hanya separonya saja diterapkan yaitu pendekatan deduktif, sedangkan ajaran yang separonya lagi yaitu pendekatan sejarah yang empirik-induktif sama sekali dilupakan. Namun kesalahannya tidak dapat dilepaskan dari “keteledoran” Alfred Marshall sendiri yang telah membiarkan ilmu ekonomi sebagai disiplin menjadi penentu arah kegiatan ilmiah dan masalah-masalah sosial yang muncul dalam masyarakat tidak dijadikan obyek yang harus dipecahkan.
Because economic elected to be a deductive science, it abstracts from the historical character of what it studies and indeed from everything that cannot be quantified. 21)
21) Daly H.E, J.B.Cobb, For the Common Good, Beacon Press, 1989, op.cit. hal 121, 124
Marshall stated that the dominant aim of economics was to contribute to a solution of social problems. Yet the relation of his work to that end was quite indirect (this is) because he allowed his task to be determined for him by the discipline itself and not by the social problem.
Jika di negara-negara maju ilmu ekonomi dijadikan makin “ilmiah” dengan sasaran-sasaran analisisnya pada masalah-masalah non-ekonomi seperti keluarga (Gary Becker) atau agama (the economics of religion), maka di negara-negara berkembang orang-orang awam makin frustasi karena ilmu ekonomi nampak tak berminat pada masalah perbaikan pemerintahan (governance).
The Neoclassical economist typically is not concerned with the usefulness of the theory to governance; it suffices for him that the theory is useful and applicable in problems involving maximization of return from the use of scarce resources. 22)
22) Monroe Burk, Ideology and Morality in Economic Theory, dalam A Lewis & K.E. Warneryd (eds) Ethics and Economic Affairs, Routledge, 1994, op.cit. hal 314
Jika ilmu ekonomi Neoklasik tidak berminat menganalisis masalah-masalah sosial di negara-negara sedang berkembang, tetapi mengurung diri sebagai disiplin yang kaku maka ia bukan ilmu sejati tetapi sekedar sebagai ideologi, itupun ideologi yang tidak mengikat, sehingga tidak berguna bagi pembangunan masyarakat, malahan ia menjadi penghambat pemecahan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. 23)
23) Monroe Burk, Idem hal 313
Neoclassical economics is neither positive nor a normative science. It is used extensively as a rhetorical devise in support of policies arrived at independently. In its populist version, it enters into the Weltanschauung / Mind Set / Myth Structure of our culture, and thus becomes a lens through which individuals observe the world about them and guide their behavior. To the extent it contributes to a materialistic, hedonistic, greedy and avaricious life style, it is greatly to be deplored. Its most destructive impact, however, is to debar other paradigms, ad in particular the socio-economic paradigm, from a respective hearing.24)
24) Monroe Burk, Idem hal 320-321
Salah satu manifestasi paling buruk dari penerapan teori ekonomi Neoklasik di Indonesia adalah tidak pernah diperhatikannya data-data empirik perekonomian daerah yang sering sangat berbeda dengan data-data agregat yang tercatat di Jakarta. Misalnya tentang kontraksi ekonomi amat besar (-13.4%) tahun 1998 yang berdasar kurs dolar telah menurunkan “kesejahteraan bangsa” Indonesia (pendapatan perkapita) dari USD 1200 menjadi USD 600. Data kontraksi ekonomi di luar Jawa hanya –4,4% bahkan di Irian Jaya tahun 1998 masih tumbuh positif 12,8%.
Dalam rangka menganalisis dampak krismon 1997/98 dan kebijakan serta program-program “pemulihan ekonomi”, metode analisis yang semata-mata deduktif ini sungguh tidak realistis jika tidak dapat dikatakan keliru.
Neoclassical economics often constitutes an impediments rather than a help in the analysis of a real-world problem because it prevents piercing through the layer of assumptions about consumer sovereignty and consumer preference contained in it.25)
25) Monroe Burk, idem hal. 322
PENUTUP
Pancasila memuat semacam “janji-tekad dari seluruh warga bangsa untuk bekerja keras mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui ketakwaan pada Tuhan yang Maha Esa, kesadaran kemanusiaan, semangat persatuan-kebangsaan dan kerakyatan/demokrasi. Bung Karno pada pidato lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan dasar negara Indonesia Merdeka sebagai berikut:
1. Kebangsaan Indonesia; dan
2. Internasionalisme – atau Peri-kemanusiaan; yang diringkas dalam konsep Socio-Nasionalisme
Selanjutnya dasar
3. Mufakat – atau Demokrasi, dan
4. Kesejahteraan Sosial; diringkas menjadi socio-demokrasi;
Ke-4 dasar negara ini “dipanyungi” semangat dan sikap ke-5 yaitu bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa atau Prinsip Ketuhanan. 26)
26) Bung Karno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.
Jelas di sini bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menggambarkan sifat Ketakwaan seluruh warga bangsa memayungi sila-sila socio-nasionalisme dan socio-demokrasi. Jika urutan Pancasila kita sekarang sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah:
1. Ketakwaan,
2. Kemanusiaan,
3. Kebangsaan (Persatuan),
4. Demokrasi (Kerakyatan), dan
5. Keadilan sosial,
maka jelas bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang serba-berkecukupan (adil-makmur) dasar-dasar etika kita adalah ketakwaan dan kemanusiaan, sedangkan metode kerja-nya adalah kebangsaan/nasionalisme, dan demokrasi/kerakyatan.
Bung Hatta yang mendukung penuh Pancasila sebagai pedoman melaksanaan sistem “ekonomi terpimpin” menegaskan bawa politik kemakmuran Indonesia ialah politik yang didasarkan pada “pembangunan tenaga beli rakyat” yaitu dengan memperbesar produksi sekaligus menyediakan lapangan kerja penuh.
Apabila di dalam pembukaan UUD 1945 tersimpul tujuan bangsa dan Pancasila sebagai pegangan dalam melaksanakannya, dalam UUD sendiri terdapat beberapa peraturan tentang melakukan ekonomi terpimpin. Peraturan itu terdapat dalam Pasal 33, Pasal 27 ayat 2 dan pasal 34. Yang pertama mengenai sistem yang kedua mengenai hak sosial warga negara, dan yang ketiga mengenai tugas Pemerintah. Pasal 33 itu adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia. Dasar ekonomi rakyat mestilah usaha bersama dikerjakan secara kekeluargaan. Maksudnya ialah koperasi. Cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. 27)
27) Bung Hatta, Pidato dalam Pengarahan kepada Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila, 21 Juni 1979
Tidak ada komentar:
Posting Komentar