Minggu, 24 April 2011

DAMPAK PEMBERLAKUAN SISTEM BANK PERKREDITAN RAKYAT TERHADAP KINERJA LEMBAGA PEDESAAN

Latar Belakang

Dalam upaya membangun sektor pertanian sebagai landasan perekonomian dan meningkatkan pendapatan rakyat kecil demi pemerataan hasil pembangunan, pemerintah Indonesia telah melaksanakan program–program perkreditan yang ditujukan kepada petani dan pengusaha kecil sejak Repelita I.

Dimulai dengan kredit Bimas (Bimbingan Massal) pada tahun 1972, muncullah banyak program kredit untuk komoditas lainnya, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kinerja Permanen (KMKP), sampai Kredit Usaha Tani (KUT) pada akhir pemerintahan Orde Baru. Ciri umum kredit program pemerintahan adalah bersuku bunga murah, berjangka waktu cukup lama, memperoleh dana likuiditas dari bank sentral, dan resiko kreditnya ditanggung pemerintah. Karena kebijakan kredit pertanian semacam ini lazim dilaksanakan di negara berkembang selama lebih dari dua dasawarsa, maka sering disebut sebut sebagai program kredit “tradisional” atau “konvensional”.

Walaupun beberapa program tersebut dapat mencapai tujuannya dalam meningkat kan produksi, tetapi terlihat adanya keragaan yang tidak memuaskan pada lembaga keuangan yang melaksanakannya, terutama (1) rendahnya tingkat pelunasan kredit; (2) rendahnya moralitas di bidang perkreditan aparat pelaksana; dan (3) rendahnya tingkat mobilisasi dana masyarakat.

Masalah-masalah tersebut menunjukan adanya kelemahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan kredit konvensional, yaitu terutama tidak tepatnya asumsi yang dipakai sebagai dasar kebijakan. Salah satu kelemahannya adalah tidak diperhitungkannya dampak pelaksanaan kebijaksanaan kredit program terhadap kinerja lembaga keuangan yang menjadi pelaksananya dan asumsi yang keliru terhadap perilaku golongan masyarakat yang menjadi kelompok sasarannya, misalnya tidak mau menerapkan teknologi baru. Walaupun secara konseptual terdapat perubahan yang mendasar dalam kebijakan kredit dengan dikeluarkannya Paket Penyempurnaan Sistem Perkreditan tanggal 29 Januari 1990 (Pakjan 90), tetapi pelaksanaan kredit-kredit program bersubsidi tetap berlangsung sampai saat ini.

Sementara itu, di pedesaan sendiri rakyat telah lama memiliki lembaga-lembaga keuangan “lokal” atau “tradisional” yang melayani kebutuan mereka berazaskan swadaya dan pendekatan pasar. Lembaga-lembaga tersebut disebut “lembaga keuangan pedesaan” (LKP) atau yang akhir-akhir ini lebih dikenal dengan sebutan ”lembaga keuangan mikro” (LKM). LKP yang menjadi obyek penelitian ini adalah kelompok swadaya masyarakat (KSM), Badan Kredit Desa (BKD), dan Badan Kredit Kecamatan (BKK). LKP tersebut, selain kurang memperoleh perhatian, juga secara ironis terkena dampak dari kebijakan yang memberikan prioritas kepada program-program kredit murah bersubsidi dan pendirian LKP-LKP baru versi beberapa departemen, maupun kebijakan deregulasi perbankan No. 7/1992 yang kemudian diubah dengan UU Perbankan No. 10/1998.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengungkapkan dampak pemberlakuan sistem BPR dalam kaitan pelaksanaan UU Perbankan No. 7/1992 terhadap kinerja dan kelangsungan hidup LKP yang telah berdiri jauh sebelumnya, (2) menemukenali faktor-faktor yang menentukan kinerja (perfomance) berbagai jenis LKP yang beroperasi di tingkat akar rumput, sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pelayanan keuangan bagi golongan ekonomi lemah.

Hasil Penelitian

Dari penelitian terhadap 100 LKP beserta 303 nasabahnya di Jawa Tengah berhasil diuji bahwa pelaksanaan UU Perbankan No. 7/1992 yang mewajibkan LKP mengadaptasi sistem BPR, penerapan penilaian tingkat kesehatan berdasarkan kriteria CAMEL (capital adequacy, assets quality, management, earnings, liquidity), kewajiban pelaporan bulanan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan, berdampak negatif terhadap kinerja dan kelestarian LKP, karena:

i) Membawa implikasi perubahan budaya kinerja, perubahan sistem akuntansi, struktur organisasi, dan peningkatan biaya yang sukar diadaptasi oleh sebagi an besar LKP. Apabila sistem BPR akan diterapkan sepenuhnya pada BKD, maka diperkirakan 90% dari seluruh BKD akan mengalami marjin yang neg atif:

ii) Mengakibatkan tidak jelasnya status dan masa depan LKP yang tidak memperoleh status sebagai BPR, yaitu lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP) yang didirikan pemerintah daerah di 10 propinsi yang tidak memperoleh status sebagai BPR;

iii) Tidak mendorong efektivitas LKP sebagai lembaga pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin di pedesaan karena kriteria CAMEL tidak memperhatikan penyediaan sarana dan “pendalaman” akses pelayanan. Pada awal pemberla kuan CAMEL di tahun 1991/1992, jumlah pemimjam BKK menurun 11,6% jumlah peminjaman baru berkurang 23%, sebaliknya jumlah pinjaman rata-rata naik sebesar 26,8%

Undang-UndangPokok Perbankan Nomor 7 tahun 1992 terkesan menitikberatkan efisiensi dengan menyederhanakan struktur perbankan, tetapi kurang memperhatikan aspek “kebijaksanaan” dan “keadilan” bagi lembaga keuangan tradisional yang telah lama ada, dan menempatkan LKP “terjepit” di antara dua kebijakan yang tidak mendukung perkembangan dan kelestarian hidupnya, yakni di satu pihak sebagai lembaga keuangan menghadapi kebijakan perbankan yang lebih menguntungkan BPR gaya baru, di lain pihak sebagai lembaga pedesaan menghadapi kebijaksanaan pemerintah yang cenderung menganakemaskan KUD dan menciptakan LKP skema-skema kredit pedesaan baru.

Kebijakan yang berdampak negatif bagi LKP dalam deregulasi perbankan tersebut dilatar belakangi oleh persepsi bahwa LKP adalah bentuk paling “kecil” atau paling “lemah” dari bank umum. Hal itu juga menunjukkan bahwa, paling tidak sampai dengan tahun 1998, otoritas perbankan Indonesia belum tersentuh oleh wacana keuangan mikro yang berkembang di dunia luar.

Kriteria CAMEL yang di terapkan untuk menilai tingkat kesehatan BPR, yang sebelumnya lazim di terapkan untuk bank umum, kurang tepat dipakai untuk menilai kinerja LKP karena tidak mengukur efektivitas mereka di dalam memberikan akses pelayanan kepada masyarakat dan potensi kemandirian/kelestarian mereka.

Hasil uji kriteria LKP yang di usulkan mengukuhkan bahwa:

1. Faktor efektivitas pelayanan (akses kepada penabung dan peminjam serta persentase penunggak) merupakan faktor kunci yang menentuklan kinerja LKP melalui pengaruhnya terhadap faktor kemandirian/ kelestarian (kemandirian usaha, kewaspadaan finansial dan rentabilitas), dan tingkat hubungan sosial antara LKP dengan nasabahnya merupakan variabel eksogen yang sangat berpengaruh kepada efektivitas pelayanan. Faktor-faktor tersebut dapat efektif diterapkan sebagai kriteria pokok untuk menilai kinerja berbagai jenis LKP.

2. BKD merupakan model LKP yang sehat dan potensial untuk dilestarikan karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu:

(a) potensi untuk mengem bangkan tabungan sukarela dan akses kepada penabung,

(b) cukup selektif nya mekanisme pemberian pinjaman,

(c) kuatnya hubungan sosial dalam menekan jumlah penunggak

(d) konsisten dalam “pendalaman” pelayanan kepada masyarakat miskin, dan

(e) responsif terhadap upaya dan kebijakan untuk meningkatkan kinerja,

3. KSM mempunyai kendala dalam meningkatkan kinerjanya disebabkan terbatasnya jumlah anggota sehingga menghambat perluasan akses kepada penabung. Kendala ini berhasil diatasi dengan memperluas KSM yang kegiatannya hanya simpan-pinjam menjadi kelompok usaha bersama yang melakukan kegiatan produktif lainnya, sehingga dapat meningkatkan laba.

4. Dari pengaruh variabel eksogen terhadap kinerja LKP dapat dikemukakan bahwa:

(a) korelasi umum LKP terhadap jangkauan pelayanan mengungkapkan pengaruh negatif kredit-kredit murah dari pemerintah yang menyebabkan LKP sukar memperluas akses pelayanannya,

(b) korelasi penghasilan nasabah dengan faktor akses pelayanan menunjukkan masih ada nya sifat jujur pada masyarakat pedesaan: semakin besar penghasilan mere ka, semakin besar kemungkinan mereka menabung, semakin kecil kemungkinnan mereka meminjam dan menunggak. Sifat ini seharusnya tidak dilunturkan dengan program-program kredit massal yang menumbuhkan moral hazard dan persepsi masyarakat bahwa kredit program adalah hadiah dan tidak perlu dilunasi, yang kadang-kadang justru disebabkan oleh perilaku dan ucapan aparat pelaksana kredit-kredit program sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar