Setelah bergumul dan mendalami masyarakat di Asia, J.H. Boeke tahun 1930-an melakukan pengolahan teoritis dan menginisiasikan teori ”dualisme ekonomi”. Ia menjelaskan bahwa di Asia selain ada sistem ekonomi yang diimpor (kapitalisme modern), terdapat pula sistem ekonomi tradisional. Dimana keduanya bagaikan minyak dan air yang sulit bercampur. Menurutnya diperlukan teori ekonomi tersendiri dalam mengembangkan masyarakat dualistis, sebab teori yang dikembangkan kapitalisme modern tak dapat diterapkan.
Apa yang dilakukan Boeke, jamak dilalui para pemikir besar seperti Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus, dan Karl Marx. Mereka bergumul dengan keadaan masyarakat di zamannya, kemudian berusaha menyusun teori ekonomi yang dapat menolong memberikan jawaban. Dalam tradisi ini, ilmu ekonomi lahir karena para pemikirnya benar-benar terlibat menjawab masalah sosial yang muncul pada zamannya.
Paradoks dengan hal di atas, ilmu ekonomi ortodoks (sebutan Ormerod terhadap ilmu ekonomi dominan) merupakan ”keasyikan” eksperimentasi intelektual dan pengolahan kecanggihan akademis semata. Seakan ilmu ekonomi mutlak dan eksak, terbukti diadaptasikannya berbagai rumus matematis untuk ilmu ekonomi. Tanpa menghiraukan, apakah model-model yang disusun mempunyai kaitan dengan kenyataan empiris masyarakat atau tidak. Ilmu ekonomi kini lebih merupakan ”belukar aljabar”, daripada pengertian tentang keadaan sebenarnya.
Tak mengherankan, Ronald Coase dengan sinis mengomentari para ekonom saat ini. Ia mengungkapkan “… economics, over the years, has become more and more abstract and divorced from events in the real world. Economists, by and large, do not study the workings of the actual system. They theorize about it ….. If economists wished study the horse, they wouldn’t go and look at the horses. They’d sit in their studies and say to themselves, ”What would I do if I were a horse ?”
***
Krisis ekonomi yang telah berjalan 5 tahun ini merupakan pukulan telak bagi para ekonom ortodoks. Kedatangan IMF dengan ”resep generik” melalui asumsi ekonomi matematis tak memberikan banyak perbaikan. Bahkan disinyalemen, akibat resepnya yang salah maka ekonomi Indonesia tambah runyam. Blessing in disguise hal ini menggugah kesadaran bahwa krisis di Indonesia bukan melulu disebabkan faktor ekonomis semata. Krisis ini multidimensional, sehingga penyelesaian teknis ekonomi tak banyak memberi perbaikan. Setidaknya, kepongahan ”otoritas tunggal” ekonom ortodoks telah terlucuti.
Krisis merupakan pukulan telak bagi Indonesia. Dari data BPS, kemiskinan tahun 1996 diderita 22,5 juta jiwa (11,3%), namun tahun 1998 akibat krisis ekonomi, meningkat tajam menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%). Runyamnya lagi, indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan peningkatan dari 3,04 menjadi 4,7. Indeks keparahan kemiskinan juga meloncat dari 0,8 menjadi 1,4. Krisis ini ternyata memperluas, memperdalam dan memperparah kemiskinan Indonesia.
Krisis ekonomi itu telah merobohkan asumsi positivis developmentalisme yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran David McClelland atau pun WW Rostow. Mimpi-mimpi akan adanya era tinggal landas yang dinubuatkan Rostow lewat Five Stages of Growth, meleset. Bukannya kita mengalami ”tinggal landas”, tetapi malahan hanya ”menjadi landasan”.
Dalam kesuraman krisis ekonomi, keajaiban terjadi. Tahun 1998 pertumbuhan ekonomi merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9%, atau jatuh -18,6% dalam setahun. Pakar ekonomi ortodoks pesimis ekonomi nasional akan pulih kurang dari 5 tahun. Namun terbukti, meski mengalami bleeding berupa pelarian modal $ 10 milyar per tahun dan ambruknya industri besar, hanya dalam 2 tahun ekonomi nasional telah tumbuh 4,8%. Akhirnya diakui bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (sering disebut ekonomi rakyat), memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi itu. Fenomena ini mengejutkan, sebab di luar nalar dari ilmu ekonomi ortodoks.
Dalam wacana teori ekonomi, istilah ekonomi rakyat memang sulit ditemui. Hal ini memang karena ekonomi rakyat adalah pengertian, bukan turunan mazhab atau school of thought tertentu, melainkan konstruksi pemahaman realita ekonomi di negara berkembang. Suatu realita ekonomi dimana selain ada sektor formal, terdapat pula sektor informal dimana sebagian besar masyarakat hidup.
Ekonomi rakyat memang terbukti tangguh dalam menyelamatkan Indonesia dari keterperosokan jurang krisis dalam. Namun demikian, fakta struktur ekonomi yang sangat timpang perlu ditelaah lebih lanjut. Sektor usaha besar dan modern telah melaju sangat kencang (lalu jatuh), namun sektor usaha informal, kecil, dan menengah juga berjalan lambat.
Timbul pertanyaan besar, mengapa ekonomi rakyat sangat kurang berkembang? Jawaban yang sering kita temui, sebab ekonomi besar dan konglomerasi yang mendapat fasilitas dan privilese sehingga ekonomi rakyat terpinggirkan. Tentu jawaban tidak salah, namun adakah jawaban yang lain? Dalam hal ini, kerangka pemikiran dualisme Boeke bisa menjawab pertanyaan itu.
Merujuk data BPS (1997-2000), usaha kecil berkisar 99,85% dari total keseluruhan usaha yang berjumlah 40 juta. Dari data BPS lagi, kesulitan utama dan terbesar yang dihadapi ekonomi rakyat adalah kekurangan modal. Namun meski kekurangan modal, dalam melakukan usahanya mayoritas dari mereka mengusahakan dari modal sendiri. Para pengusaha kecil yang mengusahakan modal sendiri mencapai 70%, sedangkan pengusaha rumah tangga mencapai 90%.
Jadi ekonomi rakyat yang telah menyelamatkan Indonesia dari krisis adalah ekonomi yang ”berdikari” dan ulet. Mereka yang berjuang dari apa yang ada, atau modal sendiri. Hal ini sangat ironis dibandingkan dengan ”mental pengemis” dari pemerintah yang dijustifikasi melalui para ekonom. Akibat mental pengemis ini, kini negara kita masuk dalam jebakan utang (debt trap). Ironisnya, justru kita diselamatkan ekonomi rakyat yang ”berdikari”.
Kembali ke permasalahan ekonomi rakyat, kalau kesulitan utama mereka adalah kekurangan modal mengapa tak meminjam bank? Inilah persoalan besar yang hingga kini belum terpecahkan. Bila harus meminjam bank, tentu diperlukan jaminan fisik (kolateral), proposal proyek kelayakan usaha, serta adanya badan hukum (legal entities).
Tentu saja pengusaha mikro dan kecil yang sederhana sangat kesulitan untuk membuat project proposal, memenuhi legal entities (mempunyai badan hukum), atau memberikan jaminan fisik (misalnya sertifikat tanah). Tak mengherankan bila mereka disebut ”tidak bankable” (tidak terjamah oleh perbankan).
Menyimak data BPS tahun 2000, banyaknya usaha yang berbadan hukum hanya 246,7 ribu (0,6%) dan yang tak berbadan hukum adalah 39,3 juta (99,4%).
Artinya untuk meminjam ke bank guna mengembangkan usaha, bila harus mempunyai legal entities, peminjam dari bank berjumlah kurang dari 1%. Bayangkan, sebanyak 99% usaha (mayoritas mikro, kecil dan menengah) kesulitan mengakses pembiayaan dari bank. Fakta ini tentu memedihkan, mengingat trilyunan rupiah kredit macet peminjamnya adalah para pengusaha besar dan konglomerat. Sementara itu para pengusaha kecil sulit sekali menjangkau akses pembiayaan untuk usaha mereka..
Dalam dunia modern, formalitas dan legalitas adalah hal yang sangat penting.
Sementara itu, masyarakat kita (ekonomi rakyat) mayoritas masih belum familiar dengan hal tersebut. Padahal ekonomi rakyat membutuhkan duku-ngan dan perlindungan dari pihak yang bersifat formal (perbankan, pemerintah, aparat keamanan, dan lain-lain), namun mereka masih bersifat informal. Jadi akibat dualisme itu, keduanya ”tidak nyambung”. Dan dari fakta yang ada, ekonomi informal (non formal) inilah yang justru mempunyai kontribusi signifikan menyelamatkan Indonesia dari jurang krisis.
Persoalan kesulitan mengakses modal hanyalah satu diantara berbagai kesulitan yang diderita ekonomi rakyat, akibat sifat informalnya. Hernando de Soto setelah bergumul dan melakukan pengamatan terhadap sektor informal, juga menemukan persoalan lain. Menurutnya sektor informal sebenarnya memiliki aset yang besar, namun akibat sifat informalitasnya maka aset tersebut menjadi tidak bernilai (misalnya: tanah tanpa sertifikat). Akibatnya aset tersebut tak bisa digunakan dan dikembangkan lebih lanjut, yang ia sebut sebagai modal mati (dead capital). Inilah yang menyebabkan mereka terus miskin.
Persoalan Indonesia agaknya masih belum beranjak jauh dari apa yang ditemukan Boeke lebih dari 70 tahun yang lalu, meski dalam konteks yang berbeda. Dalam realitas Indonesia, terdapat dua sistem ekonomi yang berbeda yang berdampingan, antara yang formal-modern dan informal. Selama ini, yang diuntungkan dengan sistem yang ada adalah yang formal, sementara sektor informal yang mempunyai kontribusi besar tak pernah terperhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar