Seperti kita tahu menjamurnya pedagang kaki lima disebabkan oleh ketidakmampuan dan ketidakseriusan para pengambil kebijakan dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Juga karena kebijakan industri nasional yang selalu berpihak kepada kepentingan dari para pengusaha asing.
Tanpa penyelesaian dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi kepentingan rakyat banyak, juga tanpa membeda-bedakan antara kota dan desa. Urbanisasi, atau perpindahan dari desa ke kota untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, akan terus berlangsung selama lapangan kerja itu tidak tersedia.
Adalah daerah pedesaan yang merupakan munculnya lapisan luas masyarakat miskin di perkotaan. Disamping kemiskinan yang terus saja berlangsung di desa-desa, industrialisasi ala pasar bebas terus menerus gagal menyerap kelebihan tenaga kerja di pedesaan. Disisi lain pembangunan perekonomian yang terjadi saat ini, tidakalah berada dalam kerangka penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat
yang memiliki corak perekonomian agraris.
Prosesindustrialisasi yang keliru tersebut, bertitik tolak dari adanya persekutuan dri negara-negara maju untuk mengeruk kekyaan alam Indonesia. Dimana sebagian besar surplus kapitalnya mengalir ke negeri-negeri maju yang menjadi investor, sedangkan yang sebagiannya lagi dinikmati oleh para pembuat kebujakan dalam begeri yang korup.
Kondisi seperti ini berlangsung secara terus-menerus selama hampir lima puluh tahun Indonesia berdiri. Yang jutru diperparah lagi hasil yang didapat dari keuntungan tadi tidak di investasika kedalam lapangan industri dasar dan menengah yang dapat membantu penyelesaian dari keterbelakangan tenaga produktif di pedesaan.
Namun justru malah di investasikan kedalam sector barang-barang konsumsi dan jasa di perkotaan. Seperti tekstil, epatu, jasa financial, dan seluruh sector manufaktur penghasil barang-barang konsumsi. Itu baru lah gelombang pertama dari kesalahan industri dalam negeri kita, dimana industri pertanian diabaikan karena pemerintah lebih menitik beratkan kepada sector manufaktur konsumtif di perkotaan yang
berteknologi rendah. Ini pula lah yang mendorong arus besar-besaran gelombang urbanisasi, terutama ke kota-kota yang menjadi pusat industri. Dan lebih celakanya, industri keropos yang digunakan oleh Indonesia selama ini, hanya berdiri diatas landasan industri dasar dalam negeri yang rapuh. Karena hampir seluruh industri manufaktur penghasil barang-barang konsumsi ini, sangat tergantung dengan negara-negara maju. Dari masalah bahan baku, mesin, sampai pasar, kita sangat
menggantungkan diri kepada negara-negara maju itu. Dengan demikian dari sisi penyerapan tenaga kerja sector industri manufaktur berteknologi rendah ini, tidak dapat menyerak kelebihan tenaga kerja dari pedesaan yang membanjiri kota.
Dari sisi nilai tambah bagi produktifitas nasional juga kecil sekali jumlahnya, karena melimpah ruahnya ini justru sering dijadikan alas an oleh pemerintah agar kaum buruh mau di upah murah. Karena itulah, perekonomian dalam negeri angat rentan terhadap gejolak yang menerpanya.
Di paar dunia sendiri, komoditi yang dihasilkan oleh manufaktur Indonesia sudah mencapai taraf over produksi, yaitu melimpahnya barang tapi tidak terbeli oleh mayarakat. Pasar dalam negeri yang yang seharusnya dapat menyelamatkan industri dalam negeri ternyata tidak demikian yang terjadi. Karena apa? Karena buruh di Indonesia diupah sangat rendah, sehingga mereka juga tidak mampu menyerak kelebihan hasil produksi. Dalam situasi tersebut, situasi dalam negeri tentu sulit sekali untuk ditolong lapas dari kubangan krisis yang menyebabkan kemiskinan merajarela di bumi nusantara. Ribuan pabrik bangkrut, jutaan buruh menjadi korban PHK, dan hasilnya sudah bang tentu adalah bertambah panjangnya barisan kemiskinan di Indonesia.
Tanpa penyelesaian dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi kepentingan rakyat banyak, juga tanpa membeda-bedakan antara kota dan desa. Urbanisasi, atau perpindahan dari desa ke kota untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, akan terus berlangsung selama lapangan kerja itu tidak tersedia.
Adalah daerah pedesaan yang merupakan munculnya lapisan luas masyarakat miskin di perkotaan. Disamping kemiskinan yang terus saja berlangsung di desa-desa, industrialisasi ala pasar bebas terus menerus gagal menyerap kelebihan tenaga kerja di pedesaan. Disisi lain pembangunan perekonomian yang terjadi saat ini, tidakalah berada dalam kerangka penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat
yang memiliki corak perekonomian agraris.
Prosesindustrialisasi yang keliru tersebut, bertitik tolak dari adanya persekutuan dri negara-negara maju untuk mengeruk kekyaan alam Indonesia. Dimana sebagian besar surplus kapitalnya mengalir ke negeri-negeri maju yang menjadi investor, sedangkan yang sebagiannya lagi dinikmati oleh para pembuat kebujakan dalam begeri yang korup.
Kondisi seperti ini berlangsung secara terus-menerus selama hampir lima puluh tahun Indonesia berdiri. Yang jutru diperparah lagi hasil yang didapat dari keuntungan tadi tidak di investasika kedalam lapangan industri dasar dan menengah yang dapat membantu penyelesaian dari keterbelakangan tenaga produktif di pedesaan.
Namun justru malah di investasikan kedalam sector barang-barang konsumsi dan jasa di perkotaan. Seperti tekstil, epatu, jasa financial, dan seluruh sector manufaktur penghasil barang-barang konsumsi. Itu baru lah gelombang pertama dari kesalahan industri dalam negeri kita, dimana industri pertanian diabaikan karena pemerintah lebih menitik beratkan kepada sector manufaktur konsumtif di perkotaan yang
berteknologi rendah. Ini pula lah yang mendorong arus besar-besaran gelombang urbanisasi, terutama ke kota-kota yang menjadi pusat industri. Dan lebih celakanya, industri keropos yang digunakan oleh Indonesia selama ini, hanya berdiri diatas landasan industri dasar dalam negeri yang rapuh. Karena hampir seluruh industri manufaktur penghasil barang-barang konsumsi ini, sangat tergantung dengan negara-negara maju. Dari masalah bahan baku, mesin, sampai pasar, kita sangat
menggantungkan diri kepada negara-negara maju itu. Dengan demikian dari sisi penyerapan tenaga kerja sector industri manufaktur berteknologi rendah ini, tidak dapat menyerak kelebihan tenaga kerja dari pedesaan yang membanjiri kota.
Dari sisi nilai tambah bagi produktifitas nasional juga kecil sekali jumlahnya, karena melimpah ruahnya ini justru sering dijadikan alas an oleh pemerintah agar kaum buruh mau di upah murah. Karena itulah, perekonomian dalam negeri angat rentan terhadap gejolak yang menerpanya.
Di paar dunia sendiri, komoditi yang dihasilkan oleh manufaktur Indonesia sudah mencapai taraf over produksi, yaitu melimpahnya barang tapi tidak terbeli oleh mayarakat. Pasar dalam negeri yang yang seharusnya dapat menyelamatkan industri dalam negeri ternyata tidak demikian yang terjadi. Karena apa? Karena buruh di Indonesia diupah sangat rendah, sehingga mereka juga tidak mampu menyerak kelebihan hasil produksi. Dalam situasi tersebut, situasi dalam negeri tentu sulit sekali untuk ditolong lapas dari kubangan krisis yang menyebabkan kemiskinan merajarela di bumi nusantara. Ribuan pabrik bangkrut, jutaan buruh menjadi korban PHK, dan hasilnya sudah bang tentu adalah bertambah panjangnya barisan kemiskinan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar