Dalam keheningan menatap situasi ke-Indonesiaan saat ini, akan membuat kita gamang. Dengan muram dan sedih kita harus mengatakan, realitas kekinian memang masih jauh dari harapan. Dihantam krisis multi dimensi, membuat kita jatuh tersungkur, bahkan seakan berada di titik nadir. Dan rasanya kita tak tahu akan diletakkan dimana wajah kita, bila dihadapkan founding fathers peletak pondasi nasion ini. Apalagi kini kita berpijak di bumi, di mana Sang Proklamator disemayamkan. Sosok Bapak Bangsa, seorang Nasionalis Tulen, Penyambung Lidah Rakyat yang mempunyai reputasi terhormat di kancah dunia.
Situasi yang kini kita alami, memang menggelisahkan. Rasanya, siapapun tak akan tenang hatinya menyaksikan sekitar 38 juta penduduk masih bergulat dalam kemiskinan. Jeritan tanpa suara (voice of the voiceless) itu, terasa menyayat sanubari, membuat kita bergegas ingin mengulurkan tangan. Namun, apakah mereka membutuhkan bantuan seperti yang kita pikirkan ? Pengalaman menunjukkan, bila bantuan yang kita berikan salah, justru akan mematikan kemandirian, inisiatif dan menimbulkan ketergantungan. oleh karena itu, mari kita “mencari tahu” siapakah si miskin itu ?
Apakah orang miskin malas dan tak mau bekerja ? Tentu tidak. Bila mereka tak mau bekerja, tentunya tak bisa mempertahankan hidup. Lalu, apakah mereka the have not ? Tentu juga bukan. Mereka adalah the have little, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga, tradisi gotong royong, tanah, famili dll. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras), namun produktifitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun penghasilannya tetap minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat subsistensi.
Orang miskin yang aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002).
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity.
Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda.
Tabel di bawah ini memperlihatkan peran strategis dari usaha mikro (oleh World Bank disebut economically active poor) dalam mengurangi kemiskinan.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal) ternyata merupakan masalah yang utama.
Jenis Kesulitan Usaha Mikro
Jenis Kesulitan | IKR | IK |
1. Kesulitan modal | 34.55% | 44.05% |
2. Pengadaan bahan baku | 20.14% | 12.22% |
3. Pemasaran | 31.70% | 34.00% |
4. Kesulitan lainnya | 13.6% | 9.73% |
Sumber: Data BPS terolah (1999)
IKR: Industri Kecil Rumah Tangga
IK: Industri Kecil
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di bawah ini akan memperlihatkan realitas tersebut.
Darimana Modal Diperoleh
Uraian | IKR | IK |
· Modal Sendiri · Modal Pinjaman · Modal Sendiri dan Pinjaman | 90.36% 3.20% 6.44% | 69.82% 4.76% 25.42% |
Jumlah | 100% | 100% |
Asal Pinjaman · Bank · Koperasi · Institusi Lain Lain-lain | 18.79% 7.09% 8.25% 70.35% | 59.78% 4.85% 7.63% 32.16% |
Sumber: Data BPS terolah (1998)
Mengapa Keuangan Mikro ?
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997.
MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat (perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600 juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
- Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll.
- Banking with the poor
Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
- Banking for the poor
Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution dimana sumber dari financial support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dll.
Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk ketiga (Banking for the poor) menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.
Keuangan Mikro dan Dua Generasi Pembangunan
Upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat tidak dapat tidak terkait dengan praktek pembangunan yang dilakukan selama ini yang melalui krisis ekonomi telah memaparkan kelemahan dan kegagalannya. Proses pembangunan di Indonesia seperti di banyak negara berkembang lainnya, pada awalnya menyikapi persoalan kemiskinan (termasuk didalamnya ekonomi rakyat) dengan melihatnya sebagai keadaan sementara yang dalam proses pembangunan lebih lanjut akan secara otomatis menghilang melalui proses trickle down effect. Untuk membantu rakyat miskin bertahan dalam kemiskinannya sampai tiba waktunya kue pembangunan menetes pada mereka, disediakanlah berbagai bantuan kepada mereka.
Format bantuan ini sangat beraneka ragam mulai dari penyediaan berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, kesehatan, maupun pendidikan sampai bantuan teknis dan hibah peralatan serta modal. Pendekatan yang sering disebut sebagai pendekatan pembangunan generasi pertama ini harus diakui telah mampu meningkatkan berbagai indikator sosial secara signifikan. Namun harus diakui pula pendekatan ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti berkembangnya sikap ketergantungan dan melemahnya berbagai modal sosial yang dimiliki masyarakat, tidak diselesaikannya akar masalah penyebab kemiskinan yaitu ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya ekonomi, masih dipinggirkannya peran perempuan, dan semakin melebarnya jurang perbedaan antara mereka yang diuntungkan dalam kebijakan perekonomian yang diambil dengan rakyat miskin secara keseluruhan.
Pada sisi lain, pendekatan pembangunan generasi pertama membutuhkan biaya yang amat besar dan harus ditanggung oleh negara yang dalam kenyataannya semakin lama semakin jauh diluar kemampuan negara untuk membiayai sendiri. Sebagai akibatnya, seperti dalam kasus Indonesia berbagai program pembangunan semakin lama semakin tergantung pada negara dan pembiayaannya semakin mengandalkan pinjaman luar negeri.
Belajar dari pengalaman generasi pertama, pendekatan pembangunan generasi kedua mulai menggunakan keuangan mikro sebagai metode utamanya. Kontribusi dari pendekatan generasi kedua ini adalah: 1) diversifikasi pelaku utama pembangunan, 2) pembiayaan pembangunan yang menggunakan sumber-sumber keuangan dari masyarakat sendiri, 3) semakin pentingnya peran perempuan, 4) pendekatan pembangunan yang memiliki potensi untuk berlanjut (sustainable).
Pendekatan pembangunan generasi pertama yang menumpukan inisiatif pembangunan pada pemerintah telah memiliki dampak yang kurang menguntungkan pada dua arah. Pada sisi pemerintah beban pembangunan yang sebelumnya tersebar pada berbagai kelompok masyarakat mengerucut dan menjadi beban pemerintah sendiri. Sementara pada masyarakat, pengambiloperan berbagai kegiatan pembangunan oleh pemerintah telah mengembangkan sikap apatis dan ketergantungan yang semakin lama semakin besar.
Kelompok masyarakat yang dalam generasi pertama diandalkan oleh pemerintah menjadi lokomotif pembangunan yaitu sektor usaha besar dan konglomerasi telah mendominasi baik pertumbuhan ekonomi, pangsa pasar maupun produk domestik bruto (PDB)[3], akan tetapi dominasi itu ternyata tidak diikuti pengelolaan internal perusahaan yang baik (good corporate governance). Berbagai fasilitas dan perlakuan khusus yang disediakan pemerintah sebagai upaya mengakselerasi pertumbuhan mereka ternyata dalam kenyataannya justru banyak disalahgunakan serta mendorong berbagai tindakan yang tidak sepantasnya (misconduct).
Ambruknya sektor usaha besar dan konglomerasi menimbulkan efek domino pada ekonomi Indonesia yang strukturnya memang sudah timpang. Pelajaran lain yang diambil dari itu adalah eksisnya sektor ekonomi rakyat yang selama ini dimarjinalisasi ternyata mampu menjadi bantal penyelamat ekonomi nasional. Menjadi kesadaran bersama bahwasanya kedepan sektor ekonomi rakyat perlu mendapatkan perlakuan yang sepantasnya dan sewajarnya sebagai alternatif pelaku ekonomi nasional.
Pengambiloperan inisiatif pembangunan membuat biaya pembangunan menjadi terkonsentrasi pada pemerintah. Beban yang semakin lama semakin besar ini tidak dipenuhi melalui sumber-sumber pembiayaan dalam negeri melainkan menggunakan sumber pembiayaan luar negeri yang pada gilirannya mendorong munculnya ketergantungan yang semakin besar. Kebijakan yang ditempuh tersebut kurang memberikan apresiasi terhadap kenyataan bahwa didalam negeri terdapat sumber dana yang memadai. Kenyataan bahwa dari seluruh dana yang dihimpun dari masyarakat melalui perbankan (kasus BRI) hanya kurang dari separuh yang dimanfaatkan untuk memberikan pembiayaan usaha melalui kredit menegaskan kebijakan tersebut. Pendekatan keuangan mikro dalam generasi kedua membuka pemikiran bahwa pembiayaan pembangunan dapat dilakukan secara komersial menggunakan sumber dana dalam negeri yaitu tabungan masyarakat.
Peran perempuan selama beberapa waktu kurang mendapatkan tempat yang sepantasnya meskipun sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Pengalaman praktek keuangan mikro di berbagai tempat ternyata memberikan bukti yang berbeda. Kaum perempuan justru merupakan kelompok yang proaktif dan handal dalam mengelola ekonomi rumah tangga dan memanfaatkan peluang ekonomi secara optimal. Kaum perempuan juga memberikan dampak berganda (multipler effect) yang lebih besar dari intervensi pembangunan yang dilakukan karena berbagai persoalan keluarga seperti gizi keluarga, kesehatan keluarga, pendidikan anak, dan sebagainya secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak.
Pendekatan proyek yang selama generasi pertama pembangunan dikembangkan, dalam kenyataannya sebagian besar tidak berlanjut. Pendekatan proyek ini memiliki beberapa karakteristik, yaitu: adanya batasan waktu, bekerja berdasarkan budget yang sudah dialokasikan, serta tidak diketahui tindak lanjutnya. Batasan waktu yang melekat pada pendekatan proyek seringkali meniadakan hasil-hasil yang telah dicapai oleh proyek itu sendiri. Hal ini terjadi karena persoalan kemiskinan adalah persoalan komplek yang penanganannya tidak bisa instant result dan karenanya membutuhkan komitmen yang panjang.
Pendekatan proyek yang hanya bekerja berdasarkan alokasi budget dalam pengalaman lapangan tidak bisa menarik sumber-sumber pendanaan lain dalam jumlah yang signifikan yang bisa menjamin keberlanjutan dari proyek. Proyek bekerja untuk menghabiskan alokasi yang sudah ditentukan dan tidak perlu mempertimbangkan apakah dana yang sudah dihabiskan akan kembali atau tidak (meskipun dana tersebut adalah dana pinjaman).
Kenyataan menunjukkan berbagai proyek juga tidak pernah mempertimbangkan kondisi pasca proyek. Apa yang akan terjadi apabila berbagai pelayanan dan bantuan menghilang? Siapa yang akan bertanggung jawab meneruskan kegiatan yang sudah dimulai? Hal-hal tersebut menjadi persoalan pada pendekatan proyek. Dalam generasi kedua, berbagai inisiatif pembangunan meletakkan persoalan keberlanjutan pada prioritas pertama. Sebagai konsekuensinya, pendekatan proyek mulai digantikan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang memang pada satu sisi menuntut pemerintah untuk secara bertahap mentransformasi perannya dari pelaksana berbagai proyek menjadi fasilitator dan berkonsentrasi pada penyusunan sistem dan kebijakan yang pro ekonomi rakyat. Sementara pada sisi lain, pelaku-pelaku pembangunan perlu diberdayakan untuk bertanggung jawab mengambil peran yang lebih besar.
Merajut Kebersamaan dan Membangun Kemandirian Bangsa
Dalam konteks pembangunan generasi kedua, menggalang kerjasama berbagai pihak (stakeholders) dalam masyarakat adalah hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah forum (wadah) kebersamaan para pelaku yang mempunyai keterkaitan untuk pengembangan usaha rakyat sehingga bisa saling berkomunikasi, saling memahami, membentuk jaringan, dan bekerjasama secara saling menguntungkan.
Salah satu alternatif yang telah dilakukan dalam pengalaman kami adalah pembentukan Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia. Gema PKM ini adalah sebuah forum stakeholder yang terdiri dari institusi pemerintah, lembaga keuangan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, akademisi (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian, sektor usaha, sektor bisnis, media massa, dan kelompok swadaya masyarakat (masyarakat miskin).
Dari pengalaman yang telah kami alami, dengan adanya interaksi, komunikasi, saling belajar dan mengajar, serta saling memahami satu sama lain, maka akan terjadi pembelajaran masing-masing dan kerjasama yang saling menguntungkan. Banyak persoalan yang akhirnya dapat dipecahkan sendiri diantara para pihak yang berkaitan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang intensif.
Dan dari refleksi perjalanan yang telah kami alami, untuk membantu mereka yang miskin dan lemah melalui semacam terbentuknya semacam forum ini, niat baik saja tidaklah cukup. Ternyata dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketahanan bergumul dengan berbagai kerumitan, namun tetap harus fokus pada tujuan. Dan salah satu kunci keberhasilan dari forum semacam ini adalah partisipasi dan sikap pro aktif dari para stakeholder sendiri.
Dan sebagai catatan penutup, apa yang kita putuskan atau tidak-putuskan hari ini tidak akan berarti banyak bagi orang miskin (pengusaha mikro) besok atau bulan depan. Mereka tetap akan berusaha untuk ‘survive’ dengan caranya sendiri. Namun apa yang kita putuskan, atau yang tidak kita putuskan hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan ekonomi rakyat (usaha mikro) dalam jangka menengah atau jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar