Minggu, 24 April 2011

TANTANGAN ILMU EKONOMI DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN

Pendahuluan

Pada kunjungan 5 hari di Bangladesh, ada seorang rekan menerima SMS dari IndonesiaMasya Allah, mencari apa di Bangladesh, apakah tidak ada negara lain yang dapat dikunjungi sebagai tempat belajar selain Bangladesh yang sudah jelas merupakan International Basketplace?” Istilah International Basketplace ini dikenalkan Robet McNamara, ketika itu Presiden Bank Dunia, untuk menggambarkan contoh kemiskinan yang sangat parah. Memang benar kebanyakan orang merasa hanya dapat belajar dari masyarakat/bangsa yang sudah lebih maju, dan lebih kaya dari kita, dan bagaimana kita dapat belajar untuk menuju ke sana. Namun yang lebih benar proses kemajuan negara-negara industri maju banyak yang tidak serta merta bisa kita tiru, sedangkan dari negara-negara yang masih “dibelakang kita” kita justru dapat lebih banyak belajar untuk menghindari hal-hal dan kebijakan-kebijakan keliru yang dilakukan negara-negara yang masih terbelakang tersebut.

Bangladesh dengan penduduk 132 juta orang adalah negara berpenduduk terbesar nomor 8 di dunia. Negara yang baru 33 tahun merdeka ini (dari Pakistan 1971) dilaporkan berpendapatan perkapita US$380 dengan penduduk miskin sekitar 50% dari jumlah penduduk keseluruhan.

Bangladesh adalah “simbol kemiskinan Asia” sehingga “pakar kemiskinan” seluruh dunia merasa “belum pakar” jika belum datang atau mempelajari masalah kemiskinan negara ini. Dari berbagai masalah tentang kemiskinan di Bangladesh, microcredit atau microfinance adalah salah satu yang paling menonjol. Bangladesh dianggap sebagai negara tempat kelahiran “ilmu kredit mikro” (microcredit science) berbentuk Bank Perdesaan, atau dalam bahasa Bengali Grameen Bank, yang dirintis oleh Profesor Muhammad Yunus.[2] Grameen Bank (GB) kini menjadi simbol keberhasilan atau kunci sukses program penanggulangan kemiskinan yang selanjutnya ditiru/direplikasi di berbagai negara termasuk Indonesia.

[2] Di Indonesia, BRI, yang dalam bahasa Belanda adalah Volkscredietwezen, sudah berumur 100 tahun lebih karena didirikan di Purwokerto tahun 1897, dan BRI didirikan tahun 1901. Tetapi memang GB yang khusus untuk wanita miskin memiliki ciri-ciri sangat istimewa yang menarik untuk diterapkan di negara-negara miskin lain.

Grameen Bank

Sekitar 10 kelompok perempuan miskin, masing-masing beranggota 5 orang, ketika kita mendekati tempat pertemuan mereka, mengucapkan sumpah/janji berupa “16 keputusan” (sixteen decisions) antara lain melaksanakan KB, mendidik anak, hanya minum air putih yang dimasak atau air sumur yang sehat, dan menahan diri dari membayar atau memakai “mahar” dalam perkawinan anak-anaknya. Semua sumpah/janji ini dapat diringkas dalam 4 asas hidup Grameen Bank, yaitu disiplin, bersatu, berani, dan bekerja keras.[3]

[3] Ulreka Mueller – Glodde, 1997, Poor, but Strong: Women in the People’s Economy of Bangladesh, Grameen Trust, Dhaka.

GB yang mulai beroperasi tahun 1976, 5 tahun setelah kemerdekaan Bangladesh, menjadi bukti keprihatinan seorang Gurubesar ekonomi Prof. M. Yunus, untuk membantu mengatasi kelaparan (famine) yang luar biasa yang menelan jutaan korban meninggal di Bangladesh pada tahun 1974.

I became involved because poverty was all around me. I could not turn my eyes away from it. In 1974 I found it difficult to teach elegant theories of economics in the classroom in the backdrop of a terrible famine in Bangladesh.[4]

It did not take much time for me to resolve that any economics, which does not have an answer for poverty, and hunger in a simple straightforward way, is definitely not for me. I tried to find my own economics. I was shocked, I was thrilled as I went along. My pursuit gradually took an institutional shape, we called it Grameen Bank.[5]

[4] Muhammad Yunus, 2003, Halving Poverty by 2015: We can Actually Make It Happen, Grameen Bank.

[5] Muhammad Yunus, 1993, Alleviation of Poverty is a Matter of Will, not a Means.

Ilmu Ekonomi dan Kelaparan

Meskipun kemiskinan penduduk Bangladesh sesudah “pembebasan dari penjajahan” Pakistan mengerikan, namun kelaparan besar-besaran (famine) yang terjadi tahun 1974 itulah yang secara kejiwaan mengejutkan seorang Muhammad Yunus yang sebagai Doktor ekonomi muda tamatan Unversitas di Amerika (Vanderbilt) sangat kecewa tidak dapat menggunakan ilmu ekonominya untuk ikut memikirkan cara-cara mengatasinya.

Most important step to end poverty is to create employment and income opportunity for the poor. But orthodox economics recognized only wage employment. It has no room for self-employment. But self-employment is the quickest and easiest ways to create employment for the poor. (Yunus, 2003: 8)

They did not have to learn economic theories and end up with a mindset that the only way they can make a living is to find a job in the job market. If you don’t get a job march on the street! In the third world countries even if you march on the street there is no job for you. As a result the poor go out and create their own jobs. Since economics text-books do not recognize them, there is no supportive institution and policies to help them. (Yunus, 2003: 9)

Demikian kiranya jelas dari berbagai pemikiran Muhammad Yunus dalam mengembangkan GB bahwa teori ekonomi (Neoklasik) tentang kemiskinan dan pengangguran tidak cocok, atau lebih tegas keliru dan menyesatkan, jika dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Kemiskinan dan pengangguran bukan merupakan kesalahan dan dosa si miskin. Mereka telah menjadi korban sistem ekonomi kapitalistik-liberal yang menempatkan pemilik modal atau kapitalis selalu sebagai pencipta lapangan kerja dan pemberi pekerjaan, sedangkan orang-orang miskin selalu berkedudukan sebagai “peminta” atau “pengemis” pekerjaan. Ini semua merupakan teori ekonomi yang keliru jika diterapkan di negara-negara berkembang.

Economic theory in its simplification visualises people as providers of labor. They are born to take orders from a small group of very special kind of people known as “entrepreneurs”. These special people are the only people who can think, organise, and act. All other people simply fill in the work slots created by the thinking and driving people. (Yunus 2003: 10)

Kiranya tidak diragukan lagi bahwa jika kita di Indonesia bertekad memberantas kemiskinan dan “pengangguran”, kata “pengangguran” harus diberi tanda kutip karena “pengangguran” kita sangat berbeda dengan konsep pengangguran di buku-buku teks, kita harus tinggalkan semua konsep-konsep Barat dan diganti dengan konsep-konsep kita sendiri.

It will be an uphill task to end poverty in this world unless we create new economic thinking and get rid of the biases in our concept, institutions, policies, and above all, our mindset created by the existing orthodoxy. Unless we change our mindset, we can not change our world (Yunus 2003 : 11)

Perubahan mindset (cara pandang/kerangka berpikir/paradigma) yang kini sangat diperlukan bagi pemecahan masalah-masalah sosial-ekonomi bangsa Indonesia merupakan kebutuhan mutlak dewasa ini, dan ini harus dipimpin oleh para ekonom sosial, yaitu ekonom yang telah mengaku dosa atas pemikiran-pemikiran, perilaku, dan tindakan-tindakan “keblinger” di masa lalu yang semata-mata bersumber pada pemikiran-pemikiran ekonomi Neoklasik Barat. Pemikiran-pemikiran ekonomi baru yang kami sebut dengan nama Ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar yang Pancasilais, yang bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa, bermoral kemanusiaan yang adil dan beradab, bermoral nasionalisme/kebangsaan, bermoral kerakyatan, dan semuanya diarahkan pada upaya-upaya serius menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Entrepreneur (Pengusaha) Pancasilais

Prof Muhammad Yunus secara eksplisit menunjuk pada kekeliruan menganggap pengusaha (entrepreneur) yang bermodal sebagai “kunci” kemajuan ekonomi suatu bangsa, yang tanpa cacat, dan harus “dipuja-puja”. Itulah yang kebetulan termuat juga dalam buku-buku pelajaran ekonomi di sekolah-sekolah lanjutan kita. Misalnya dengan sangat mencolok disebutkan bahwa pengusaha berperan dalam :

(1.) menambah produksi nasional

(2.) menciptakan kesempatan kerja

(3.) membantu pemerintah mengurangi pengangguran

(4.) membantu pemerintah dalam pemerataan pembangunan

(5.) menambah sumber devisa bagi pemerintah

(6.) menambah sumber pendapatan negara dengan membayar pajak

(7.) membantu pemerintah memakmurkan bangsa[6]

[6] Mubyarto, (2002), Ekonomi Pancasila, BPFE, h.71

Bahwa pengusaha atau entrepreneur selalu hanya “menambah produksi dan pendapatan negara”, serta “membantu” pemerintah, sungguh tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan ekonomi bangsa Indonesia, lebih-lebih menjelang dan ketika terjadi krismon 1997/98. Bahkan sejak waktu itu pengusaha konglomerat menunjukkan keserakahan luar biasa dengan merugikan rakyat banyak, dan pemerintah tidak berdaya bersikap keras menghukum kejahatan-kejahatan mereka. Malahan sebaliknya pemerintah memihak mereka dengan memberikan BLBI Rp 140 trilyun untuk membantu mereka dan selanjutnya berutang kepada “masyarakat” sebesar Rp 650 trilyun untuk “menyelamatkan” mereka dari kehancuran. Alangkah sulit guru-guru ekonomi sekolah lanjutan kita dalam menerangkan “kontradiksi-kontradiksi” yang demikian kepada murid-murid. Apa yang tertulis dalam buku-buku pelajaran ekonomi sekolah lanjutan kita sungguh-sungguh bertentangan dengan kenyataan. Untuk “meluruskan” ajaran ilmu ekonomi yang menyesatkan ini Muhammad Yunus memperkenalkan konsep “social entrepreneur”.

If economics could envisage two types of entrepreneurs, personal driven and social-objective driven, it would not only be more realistic but it would have helped the world solve many of the problems that profit-driven market doesn’t solve today (Yunus 2003 : 12)

Social-objective driven investors will need to separate (social) stock market, separate rating agencies, separate financial institutions, social mutual funds, and social venture capital, etc. Almost everything that we have for profit driven entrepreneur will be needed for sicial-objective driven enterprises, such as audit firms, due diligence and impact assesment methodologis, etc. Only in a different context, and with different methodologies. (Yunus, 2003: 4)

Anybody who is offering his/her time and energy to addres any social or economic problem of a group or communities is a social entrepreneur. (Yunus, 2003 : 16)

Jika kekeliruan kita yang selalu memuja-muja pengusaha atau investor ini kita koreksi dengan memperkenalkan pengusaha sosial (social entrepreneur), maka kita dapat berharap kemiskinan dapat diatasi melalui berbagai kebijakan yang memihak pada si miskin.

We cannot cope with the problems of poverty within the orthodoxy of capitalism preached and practised today.

With the failure of many third world governments in running businesses, health, education, and welfare programmes efficiently, everyone is quick to recommend – “hand it out to the private sector”... Which private sector are we talking about?

Personal private sector has its own agenda. It comes in serious conflict with the pro-poor, pro-women, pro-environment agenda! Economic theory has not provided us wth any alternative to this familiar private sector. I argue that we can create a powerfull alternative – a social conciousness-driven private sector created by social entrepreneurs (Yunus, 2003 : 16)

Social entrepreneur must be supported and encoureged to get involved in the process of globalization to make it friendly to the poor. Special privileges should be offered to them to let them scale up and multiply (Yunus, 2003 : 21)

Ajaran Ilmu Ekonomi yang Menyesatkan

John Bresnan, Senior Research Scholar di Universitas Columbia (AS), yang pernah menjadi kepala perwakilan Ford Foundation di Jakarta dalam bukunya “Managing Indonesia” (Columbia University Press, 1993), menyediakan satu bab khusus tentang peranan dan jasa besar teknokrat ekonomi Indonesia dalam membawa kesejahteraan pada rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia sebelumnya dikenal telah “menyia-nyiakan” setiap peluang membangun ekonomi selama 20 tahun kemerdekaan (1945-1965). Mengapa teknokrat ekonomi disanjung di luar negeri terutama di Amerika? Sebabnya, mereka sebagian besar belajar di sana, pada awalnya di dua universitas “terbaik” di Amerika yaitu University of California-Berkeley dan University of Wisconsin-Madison. Setelah selesai belajar di Amerika mereka membawa pulang mazab ekonomi Amerika, yang mereka percaya penuh seluruhnya dapat diterapkan di Indonesia. Dan memang benar pertumbuhan ekonomi yang mendekati “keajaiban” (miracle) berlangsung selama 3 dekade hampir tanpa henti, yang mampu menaikkan pendapatan per kapita dari di bawah US$ 100 menjadi diatas US$ 1000. Maka pada tahun 1996 Indonesia dinobatkan sebagai “The Emerging Giant of South-East Asia”. Pemerintah Orde Baru sangat bangga dengan jasa-jasa para teknokrat, dan Fakultas-fakultas Ekonomi di seluruh Indonesia menjadi fakultas favorit.

Sayangnya “cerita sukses” ekonomi Indonesia ini tidak pernah diterima secara kritis, dengan mengenali kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya. Yang paling serius dari kekurangan dan kelemahan itu adalah tidak pernah dipertanyakan apakah hasil-hasil pembangunan ekonomi telah dinikmati secara merata dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diidam-idamkan dalam Pancasila dasar negara. Fakultas Ekonomi UGM berturut-turut pada tahun 1980 dan 1981 mengadakan seminar nasional tentang Ekonomi Pancasila, yang maksudnya mengingatkan bangsa Indonesia tentang kekeliruan mazab ekonomi yang hanya mengajarkan pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan pembagiannya. Pikiran kritis dari pakar-pakar ekonomi UGM ini, yang sebagian besar juga belajar ilmu ekonomi di AS, mendapat sambutan positif dan hangat dari masyarakat Indonesia, tetapi disambut dingin bahkan dicibirkan oleh pakar-pakar ekonomi FE-UI, yang sebagian besar tokoh-tokohnya memang menjadi “otak” pemikiran ekonomi pemerintah Orde Baru. Pakar-pakar ekonomi UGM, yang waktu itu sangat kompak mendukung penuh konsep Ekonomi Pancasila ini, akhirnya tercerai-berai setelah Pidato Kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 1981, yang menuduh para ekonom UGM “mencari-cari”, atau pemikiran-pemikiran ekonominya dianggap “ngawur”.

Kini hampir 25 tahun kemudian, mata seluruh rakyat Indonesia kembali diarahkan ke UGM dengan harapan sisa-sisa idealisme para pakar ekonominya masih dapat diandalkan untuk mengoreksi secara total kekeliruan pemikiran para teknokrat ekonomi Orde Baru yang telah menghasilkan krisis keuangan berkepanjangan sejak 1997. Meskipun secara keseluruhan pemikiran kapitalistik-liberal teknokrat ekonomi telah ditolak oleh para pembaharu (reformis), namun hampir semua pakar ekonomi yang “menguasai” Fakultas-Fakultas Ekonomi Negeri maupun Swasta di seluruh Indonesia adalah pakar-pakar kapitalis liberal yang sangat mengandalkan pada kekuatan pasar bebas. Begitu bertekuk lutut mereka pada pasar global sampai-sampai mereka selalu menyerah dengan menyatakan “if we cannot beat them, join them!”.

Menelusuri kembali asal-muasal pemikiran ekonomi yang “keblinger” ini, apa yang ditulis John Bresnan dalam buku yang disebutkan di atas, dapat memberikan sekedar keterangan,

Indeed, the economists’ political ideas were poorly developed....

Political issues properly speaking, seemed not to have a place in their thinking at all....

The economists also did not share the Indonesian nationalists’ discomfort with foreign aid or foreign investment....

The young Indonesian economists had, as this suggests, considerable confidence that mainstream Western economic thingking could be applied to Indonesia. Their years at Berkeley and other (largely) American Universities also gave them great confidence in their profesional ability to set the nation on the path to economic growth; this alone tended to set them apart from others, to bind them closely together as a kind of secular brotherhood, earning them the sobriquet “Berkeley Mafia”. (Bresnan, 1993: 82-83)

Pada tahun 2002 bersama seorang rekan “ekonom pertanian” dari Universitas Wisconsin, Daniel W Bromley, kami mencoba meyakinkan rekan-rekan ekonom Indonesia untuk “mengaku dosa”, dan selanjutnya “kembali ke jalan yang benar”, mengibarkan bendera Ekonomi Pancasila seperti yang telah kita kibarkan 25 tahun lalu. Upaya besar ini rupanya tidak akan mudah mencapai hasil karena buku kami tersebut “hampir tidak ada yang membaca”. Bahkan seorang Guru Besar Muda yang baru-baru ini menyampaikan pidato pengukuhan, yang menyerang teori ekonomi Neoklasik, tidak merasa perlu menunjuk perjuangan FE-UGM 25 tahun yang lalu, yang memberikan kritik yang persis sama terhadap (ajaran) teori ekonomi Neoklasik, dan yang ingin mewujudkan Ekonomi Pancasila.

Patutkah kita berputus asa? Tidak, sekali lagi Tidak. Yang kita pertaruhkan adalah 210 juta bangsa Indonesia yang hampir 40 juta diantaranya kini, setelah 58 tahun merdeka, masih hidup dalam serba kemiskinan. Dosa kita para pakar ekonomi akan lebih besar lagi jika kita menyerah. Mereka yang masih percaya pada kebenaran pemikiran dan jasa besar Sukarno-Hatta proklamator Republik Indonesia, perlu terus melanjutkan perjuangan mewujudkan cita-cita Pancasila dalam praktik hidup bangsa sekarang ini.

Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, ... janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarkan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila (Soekarno, 1 Juni 1945).

Kita manusia itu sifatnya lupa ... dengan Pancasila itu diingatkan kita bahwa ada Pancasila. Kalau sekali-sekali kita berbuat salah, diingatkan kita, sehingga kita harus kembali ke jalan yang lurus. Itulah gunanya Pancasila itu. Bukan sekedar untuk dihapalkan di bibir saja. Hapalkan, jalankan dengan bukti. (M. Hatta, 1980)

Ilmu ekonomi yang kita ajarkan kepada mahasiswa kita sekarang yang sudah kita ajarkan sejak medio lima puluhan adalah ilmu ekonomi yang keliru dan tak bermoral, yang tidak memihak pada rakyat miskin kita. Adalah panggilan sosial dan panggilan moral kita pakar-pakar ekonomi untuk berubah, dan mengoreksi diri menjadi pejuang-pejuang yang harus mampu bekerja keras mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tujuan akhir ideologi dan dasar NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Penutup

Krisis moneter (krismon) yang setelah hampir 7 tahun belum juga terselesaikan harus memaksa pakar-pakar ekonomi Indonesia berpikir keras “tidakkah ada yang salah dalam pemikiran ekonomi para teknokrat kita, yang pada awal Orde Baru telah menjadi pahlawan-pahlawan pembangunan ekonomi Indonesia?”

Salah satu kekeliruan fatal adalah kelalaian telah mengabaikan ideologi Pancasila, khususnya nasionalisme. Jika mereka menganut ajaran ekonomi Barat secara konsekuen bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”, kiranya cukup aneh mereka dengan sadar mengabaikannya.

In the mids of all the confusion, there is one solid unchanging lump of ideology that we take so much for granted that it is rarely noticed –that is nationalism.

The hard-headed classicals made no bone about it. They were arguing against the narrow nationalism of Mercantilists in favour of a more far-sighted policy, but they were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain, not because it was good for the world (Joan Robinson, 1993: 167).

Ilmu ekonomi yang kita ajarkan kepada mahasiswa kita (bahkan sejak di sekolah-sekolah lanjutan) harus yang nasionalistik, bermoral, dan berasas kerakyatan, dan harus mampu mengarahkan pemikiran ekonomi anak-anak muda kita pada upaya-upaya mewujudkan keadilan sosial. Kemiskinan adalah salah satu bentuk ketidakadilan sosial yang harus kita berantas sampai ke akar-akarnya.

Adalah dosa besar dan merupakan pengkhianatan pada para pendiri negara jika kita para ekonom sekedar menjadi jurubicara dan penyebar ajaran-ajaran sesat ekonomi kapitalis-neoliberal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar